Pasa
dan Uta
(Taza Yuniar Salsabila)
Kuceritakan tentang sebuah kisah kawan, kisah yang
belum pernah bisa kulupakan dan mungkin bisa menjadi kisah yang terdapat
pelajaran didalamnya. Tapi, tunggu dulu. Bukan. Bukan aku yang megkisahkannya.
Cerita ini datang dari sebuah saung reyot ditengah pematang sawah. Sawah itu
kelihatan masih hijau, dan ditumbuhi padi yang masih berjarak jarak karena
memang baru di tanam oleh buru tani pagi tadi. Sudah ada 7 orang anak yang
duduk melingkar di saung itu. Semuanya laki-laki yang masih remaja. Mereka
sedang bercengkrama di atas saung itu. Rambut cepak mereka tertiup angin
sepoi-sepoi. Ya udara siang itu cukup sejuk meskipun sinar matahari seakan
membakar ubun-ubun. Untung saja, atap saung yang terbuat dari ilalang kering menjadi
penangkal yang bersahabat dari sengatan matahari yang sedang badmood hari itu.
Anak itu, anak laki-laki yang paling jangkung
diantara yang lainnya. Rambutnya yang cepak sudah mulai lepek karena peluhnya
terus berjatuhan. Bola matanya bulat cokelat memancarkan kecerdasan. Kulitnya
bisa dibilang sawo matang. Nah, kita sebut saja anak ini sang
pendongeng. Seperti yang sudah kau duga kawan, dari sang pendongeng inilah
mengalir sebuah kisah yang bahkan tidak bisa aku lupakan.
“Ehem.” Sang Pendongeng berdehem seraya membetulkan
posisi duduknya. Suara riuh rendah teman-temannya surut, berganti dengan suara
gemerisik padi yang tertiup angin.
“Nah kawan, aku punya sebuah cerita. Mau kau dengar
tidak?”
“Bah, kau ini Ris! Kita ini teman, bahkan jika cerita
itu hanya bualan kau, kita akan tetap mendengarkannya,” salah satu temannya
menjawab
“Ayolah Ris, kita ini selalu suka tentang
kisah-kisah kau selama ini, mana mungkin kita tak mau mendengar? Betul tidak?”
teman lainnya menyahut
“BETUL!!!” satu saung menjawab serentak, kemudian
disertai dengan gelak tawa.
“Baiklah aku akan bercerita….”
“Eh tunggu dulu Ris, boleh Tanya nggak? Itu ceritamu apakah pernah
terjadi di kehidupan nyata?” seorang anak yang kurus kecil dan berkacamata tiba
tiba memotong cerita sang pendongeng. Terlihat sekali dia berbicara dengan
logat Jakarta, wajahnya putih dan paling bersih diantara keenam teman lainnya.
“Yit, Prayit… tak peduli lah itu benar adanya atau
hanya bualanku semata, selagi cerita itu bisa menghibur kau, perlukah dipertanyakan
apakah cerita itu nyata atau tidak? Karena kalau menurutku itu tak perlu, benar
tidak anak kota?” Sang pendongeng menjawabnya dengan wajah yang bersahaja
ditambah dengan seringai misteriusnya –kombinasi
mimik wajah yang ajaib-. Sedangkan temannya yang bernama Prayit tersebut
salah tingkah. Dan sekarang seisi saung sedang menertawakan dirinya.
“Baiklah-baiklah kawan, aku mau melanjutkan
kisahnya”
Dan mengalirlah kata demi kata dari mulutnya,
dirangkainya menjadi sebuah kisah, teman temannya khidmat mendengarkan.
Kau mau tau kisah itu kawan? Baiklah, baiklah
beginilah kurang lebih kisah yang diceritakan oleh sang pendongeng siang itu.
*******
Kisah ini diambil dari sebuah kampung
kecil di dekat sungai Mahakam hulu. Tentu saja, tanahnya terjamin subur, tidak
pernah kekeringan, jarang gagal panen. Rakyatnya senang dengan segala kecukupan
yang ada, santun, dan selalu gotong royong. Di kampung ini pula, hidup keluarga
kecil bersahaja, setiap pagi Ayahnya pergi ke ladang, ibunya menenun kain dan
mengurus kedua buah hatinya. Si sulung,
bernama Pasa. Rambutnya ikal kulitnya sawo matang, perawakannya tegap.
Kata tetangga sebelah rumah, ia lebih mirip Ayahandanya. Sedang si bungsu,
bernama Uta. Ah, bagaimana mendeskripsikan si bungsu ini? Mata lentik, pipi tembam,
dan menggemaskannya setengah mampus.
Tentulah dua anak itu menjadi penyejuk hati bagi
kedua orang tuanya.
Namun, hidup tidak terus menerus
tenang-tenang saja, tak disangka sang ibu yang sehat-sehat saja tiba-tiba
terjatuh dari undak-undakan
rumah panggung mereka. Pingsan. Tak sadarkan diri. Si bungsu Uta yang usianya
belum genap 5 tahun saat itu menangis sejadi jadinya sedangkan Pasa berlari ke
ladang menjemput Ayah yang sedang bekerja disana. Sang Ayah pulang kerumah,
mendapati tubuh istrinya yang pucat dan bibir mulai membiru. Tak putus asa sang
Ayah menggendong ibu ke rumah tetua kampung yang sekaligus menjadi tabib.
Diperiksanya denyut nadi di leher ibunda
“Maafkan aku nak, istri kau sudah tiada. Sudah
terlambat. Sabarlah nak, sabar..” sang tabib berkata kepada Ayah sambil
menepuk-nepukan pundak Ayah. Rasa-rasanya tubuh Ayah dua orang anak itu seperti
disiram seember air es. Pasa dan Uta memeluk kaki Ayahnya sambil menangis
tersedu-sedu.
“Apakah tidak ada harapan lagi kai2?” Ayah memohon. Tapi tabib itu hanya menggeleng
pelan. Pasa dan Uta menangis sejadi-jadinya. Hari itu hari rabu dan usia mereka
bahkan belum genap 5 dan7 tahun.
Seperti yang kau duga, kehidupan keluarga itu
berubah 180 derajat. Sang Ayah semakin hari semakin murung sejak sepeninggalan
istrinya. Ia tidak lagi bekerja di ladang seperti bisaanya, hanya murung di
dalam bilik kecilnya. Merenungi nasib. Kedua anaknya, Pasa dan Uta bukan anak
yang selalu ceria lagi, seakan keceriaan itu direnggut oleh langit, mereka
selalu murung juga terlihat tak terurus. Bahkan untuk urusan makan saja mereka
hanya mengharap belas kasian dari tetangga yang merasa iba. Semua begitu
kontras sekarang.
******
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun
berganti, kehidupan Pasa dan Uta masih belum banyak berubah semenjak kejadian 8
tahun yang lalu. Sejak ibunya kembali pada Sang Maha Pencipta. Sang Ayah mulai
pulih, meski ia sangat jarang bicara, dan kedua anak itu sudah terbiasa dengan
tabiat baru Ayahnya itu.
Ayahnya juga masih belum ingin mencari pendamping
hidup baru, di kekeuh bilang bahwa ia
masih cinta pada istrinya. Padahal tetangganya sudah banyak yang menyarankan
agar dia mencari istri lagi, hali itu tak lagi digubrisnya. Tapi, semua itu
berubah di suatu malam.
“Bang! Bang Muklis!” Nanang, teman berladang
sekaligus tetangga memanggil manggil nama Ayah yang sudah meninggalkan ladang.
Hari sudah mulai petang. Ayah berhenti, lantas menoleh kearah nanang.
“Ada apa Nang?”
“Ehm, begini Bang, nanti ada pasar malam di dekat
balai kampung. Abang nak ikut? Ikut
lah bang! Jangan berdiam diri di bilik saja, abang ni butuh hiburan.”
“Tak usah lah nang, kau saja dengan teman-teman yang
pergi” Ayah menjawab datar.
“Ayolah Bang, aku ini memaksa! Kali ini saja abang
turuti adik abang ini” Nanang memaksa, dia memasang wajah jailnya.
“Jangan Nang, kasihan Pasa dengan Uta. Dirumah
sendirian.”
“Amboii! Mereka sudah besar Bang, mereka bukan anak
kecil lagi. Ikutlah Bang sekali saja demi Adik kau ini. Abang ni butuh hiburan,
ayolah Bang. Ini permintaan pertamaku kan?” Dasar Si Nanang memang pandai
bersilat lidah, Ayah yang jelas jelas kalah jika beradu argumen dengan Nanang
akhirnya mengangguk setuju.
“Sampai jumpa nanti Bang, kujemput Abang
dirumah!”seru Nanang dengan suara penuh kemenangan.
*******
Malam itu Nanang sudah bersiap di
teras rumah Pasa dan Uta, dengan penmpilan yang dikata agak necis. Rambut
klimis, kemeja disetrika rapi, ikat pinggang juga mengkilap macam habis
dipulas.
“Lha, Bang Nanang mau kemana? Tumben
rapi.” Pasa yang dari tadi memperhatikan Nanang akhirnya berkomentar juga
“Kau diamlah Pasa. Urusan orang
besar ni. Hehehh” katanya lantas terkekeh.
“Ayah ikut Bang Nanang juga ?” Uta
juga bertanya kepada Ayahnya yang baru keluar dari bilik.
“Iya. Ayah ada urusan dengan Bang
Nanang. Nah, kalian baik-baik di rumah. Makan sudah?” Katanya singkat dengan
tampang ogah-ogahan. Kedua anak itu mengangguk. Lalu berangkatlah kedua orang
itu. Malam itu langit berhias bintang-bintang. Malam itu bulan sabit
menggantung terang benderang. Malam itu Sang Ayah bertemu dengan seseorang.”
*******
Suasana di pasar malam itu sangat ramai, penuh sesak
dengan orang, bahkan rasanya seperti kehabisan oksigen. Pasar malam itu sangat
ramai, bahkan sampai pengap dan tercium berbagai macam bau. Bau parfum
menyengat, hingga bau peluh yang kurang sedap bercampur jadi satu menusuk
hidung.
Nanang yang dari tadi sudah hinggap sana hinggap
sini, ajak ngobrol sana aja ngobrol sini, dari tadi belum menunjukkan tanda
tanda ingin pulang. Padahal Ayah sudah dari tadi ingin pulang. Disini sangat
ramai dan itu tidak cocok dengan Ayah yang sangat amat pendiam.
“Ayolah Bang, santai sikit. Marilah kita bersenang
senang!” yang diajak bicara malah menatap datar. Tidak menghiraukan wajah
semangat Nanang.
“Aku tunggu disana saja, disini ramai. Pusing aku.” Ayah
akhirnya angkat bicara, sambil menunjuk sebuah warung yang memang terlihat agak
sepi. Ayah lebih memilih duduk disana dan minum kopi dibanding berkeliling
pasar malam yang seperti kandang ayam. Penuh sesak.
Brakk!! Bahu Ayah ditabrak oleh seorang pria yang
lari tergopoh-gopoh, wajahnya tidak terlihat karena ia berlari seperti dikejar
hantu.
“Jambret!! Woy Jambrett!! Mas, mas tolongin mas itu
tadi dia jambret, tas saya… tas sayaa…” belum selesai orang itu bicara, Ayah
sudah lari menyusul penjambret. Jambret itu lihai, lincah. Tapi, Ayah juga
tidak mau kalah. Singkat cerita Ayah menangkap jambret itu dengan bantuan
beberapa orang yang mau menolong. Sedangkan jambret malang tersebut harus sudah
siap diarak keliling kampung macam maling ayam besok paginya. Ayah pun
menyerahkan tas yang dijambret tadi kepada pemiliknya.
“Trimakasih Bang.” Dia seorang perempuan, perempuan
yang cantiknya bisa dibilang ada di urutan ketiga setelah Istrinya dulu dan
Uta. Ayah jatuh hati padanya. Jatuh hati pada tatap mata pertama. Jatuh hati
yang kedua kalinya. Malam itu langit berhias bintang-bintang. Malam itu bulan
sabit menggantung terang benderang. Malam itu semesta menakdirkan mereka untuk bertemu.
*******
Selepas pertemuan pertama itu, beberapa bulan
kemudian mereka berdua menikah, saling bertukar janji suci. Pasa dan Uta
mempunyai ibu tiri baru. Tapi, mereka tidak suka ibu tiri mereka yang baru.
Mereka lebih suka Ibu nya yang lama dulu.
“Memang belum kenal, nanti lama-kelamaan kau akan
mengenalnya dengan baik nak. Sesungguhnya dia adalah ibu yang baik. Ibu kau
yang baru.” Ayah hanya berkata seperti itu di hari pernikahan keduanya. Pasa
dan Uta tidak mengangguk tidak juga menggeleng. Sungguh, demi langit biru yang
cerah hari itu, mereka tidak setuju.
Hari berganti hari, kehidupan di
keluarga itu mulai berganti. Ayah mulai lebih giat bekerja karna memang ada
yang mendukung dirinya. Bahkan rencananya Ayah akan beternak ikan nila sebagai
sampingan selain berladang. Pekerjaan Ayah di ladang juga mulai berubah. Panen
lebih cepat, hama bukanlah suatu ancaman lagi. Ayah sudah macam insinyur
pertanian saja.
Pasa dan Uta? Ah yaa, dia masih
belum bisa menerima Ibu tirinya, Dewi Sri. Padahal ibunya yang baru itu sayang
kepada mereka, tidak peduli itu anaknya atau bukan. Dan Dewi Sri tau bahwa Pasa
dan Uta tidak begitu suka dengan dirinya, tapi dia selalu berdoa supaya
nantinya anak-anak itu bisa menerimanya.
“Dinda, mungkin impian kita tentang beternak ikan
akan segera terwujud!” Ayah berseru saat makan malam bersama.
“Syukurlah Bang, Dinda ikut senang.”
“Wah sekarang Ayah bertambah hebat saja” sambar Uta
“Itu berkat Ibu kau yang cantik ini nak! Dia selalu
dukung Ayah kau ini” Ayah berkata dengan bangga. Wajah Uta berubah menjadi
datar. Dingin.
“Ah, Abang ini bisa saja! Eh, maksud Ayah itu semua
berkat keluarganya yang selalu mendukung dia termasuk anak-anaknya yang baik
ini” sambar Dewi Sri untuk memperbaiki keadaan. Terlambat telinga Pasa dan Uta
terlanjur panas.
“Oh iya Bang, kalau Abang ingin beternak ikan di
Mahakam kenapa kita tak pindah rumah saja ke tepian Mahakam? Agar lebih dekat
jika ingin mengurus ikan ikannya” Dewi Sri angkat Bicara lagi.
“Usulan bagus dinda, besok Abang akan cari lahan
kosong di tepian Mahakam lalu kita bisa pindah…”
“Pasa tidak setuju!”
“Uta juga.”
“Apa hal ini? Kenapa kalian tak setuju nak?” Ibu
tirinya bertanya
“Tak usahlah Dewi jadi perhatian. Dewi ingin
memisahkan kita dari rumah ini dari semua kenangan Ibu kan? Maaf Dewi, kami
tidak bisa begitu saja melupakan beliau!”
“Cukup! Pasa! Jaga bicara kau! Itu Ibumu! Bukan
pembantumu! Bicara padanya yang sopan!” gawat. Ayah marah.
“Ayah memang selalu membela dia”
“Beeeraaniiiii kauu!!!” PLAK! Telapak tangan ayah
mendarat di pipi putra sulungnya.
“Cukup Bang! Itu Pasa Bang, Pasa! Itu Putra kau,
jangan kau sakiti dia Bang” Ibu Tiri itu memegang tangan ayah, mencegahnya
jangan jangan akan ada adu tangan lagi.
“Suka tak Suka, pekan depan kita pindah ke tepian
Mahakam! Titik!” ayah meninggikan suaranya dan menatap tajam kepada Pasa
Brak!! Pintu ditutup. Ayah keluar. Kemudian, Pasa
meninggalkan tempat makan. Uta mengikuti dibelakangnya. Tinggallah Dewi Sri
seorang diri. Hatinya remuk. Makan malam hari itu berubah jadi bencana
“Lihat? Kau selalu membuat kekacauan dirumah ini, IBU!”
Uta berkata pelan. Namun menusuk. Hati wanita itu hancur. Ia menangis tapi air
mata tak mau keluar.
*******
Perkataan ayah tak gertakan sambal biasa. Pekan ini mereka
sekeluarga sudah berpindah rumah dekat tepian sungai Mahakam. Ditinggalah semua
kenangan yang ada di rumah itu. Pasa dan Uta mau tak mau harus tetap ikut
pindah, meskipun penuh dengan ketidaksukaan.
Hebat. Hari demi hari usaha ayah
membuat keramba ikan di sungai semakin sukses. Banyak keuntungan yang didapat
dari hasil menernak ikan. Belum lagi ladang ayah yang cepat panennya tanpa
ganngguan membuat keluarga kecil itu hidup makmur.
Namun, dikala ada kesuksesan pasti
disitu ada mulut pendengki yang penuh cacian. Dari mulut itulah timbul fitnah
fitnah yang melanda keluarga ini. Mereka iri. Mereka dengki. Mereka tidak punya
hati.
“Pastilah sekarang si Muklis hidup makmur, orang
istrinya itu Titisan ikan di Mahakam ini!”
“Istri si Muklis hanya main tampang cantik saja,
padahal tabiatnya bukan main!”
“Jangan-jangan Si Muklis dan Istrinya itu pelihara
pesugihan! Bukan main!”
“Istri Si muklis itu bukan manusia bisaa, dia
makhluk ghoib! Aku pernah melihatnya nyebur ke Mahakam pagi buta! Bayangkan,
Pagi buta!”
“Jangan-jangan dia siluman!”
“Iya, jangan jangan dia siluman ikan”
“Kita tidak boleh hanya diam saja!”
Begitu kurang lebih rumor
mengada-ada yang diciptakan lisan pendengki itu. Sungguh tak tahu malu. Kalau
begini kuping siapa lagi yang panas? Pastilah kuping kedua anak yang mulai
beranjak remaja ini. Pasa dan Uta.
“Dinda tak usah masukkan ke hati apa yang orang-rang
itu bicarakan. Mereka hanya iri melihat kesuksesan Abang.” Kata ayah sambil
menepuk-nepuk pundak istrinya.
“Dinda tidak pernah peduli apa yang mereka bicarakan
Bang, asal Suami dan anak-anak Dinda tidak mempercayai bualan kotor mereka.
Sungguh Dinda tidak sedang sakit hati”
*******
Hari itu, panas matahari seakan
membakar ubun-ubun. Ranting kayu yang ditancapkan ke tanah dan ujungnya diikat
dengan senar tidak menunjukkan adanya ikan yang tersangkut. Hari itu panas
matahari seakan membakar ubun-bun. Pasa dan Uta kelelahan.
“Sudahlah Bang, hari ini memang tak ada ikan!
Marilah kita pulang saja!”
“Tumben sekali, tak ada satu ikan pun yang terkait
di di pancing kita. Pertanda apa ini Adikku?”
“Sudahlah, mari kita pulang.” Uta lebih dulu jalan
menjauhi sungai. Bergegas pulang. Akhirnya Abangnya pun mengikuti
dibelakangnya.
“Amboi, amboii! Tak dapat ikan kah? Mengapa tak
minta kepada ibu kau yang titisan ikan itu hah?” sepasang suami-istri bermulut cencala3 tiba tiba menyahut
dari teras rumah mereka.
Pasa dan Uta diam saja.
“Jadi ini anak si Makhluk Ghoib itu?” tetangga lain
ikut bersahutan
“Heh Pasa! Bilang ya sama Ibu kau! Jangan coba-coba
mengganggu ketentraman di kampung ini! Dasar anak siluman!”
“Jaga mulut Amang!” Uta yang dari tadi menahan
marah. Akhirnya meletup juga. Raut mukanya memerah.
“Asal Amang tau, dia bukan Ibu kami. Ibu kami sudah
meninggal.”
“Mau ibu kau lah, mau pembantu kau lah aku tak
peduli! Dia itu berbahaya! Dia silumaaannn! Dan kau, kalian berdua juga Anak
seorang siluman!”
Baru sepersekian detik ia selesai bebicara, Tinju
Pasa sudah mengenainya tepat di wajah. Darah segar mengucur dari hidungnya.
Wajahnya merah padam antara menahan marah dan menanggung malu.
“Jangan coba-coba kasar di depan Uta.” Pasa menjawab
dingin.
“Bang! Sudah-sudah mari kita pulang saja! Tak usah
dihiraukan mereka.” Mata Uta membelalak, takut karena abangnya jadi sedingin
itu.
“Beginilah aturan anak Siluman! Tak tahu malu!”
“Berkata satu patah kata lagi, habis kau!”
“Sudah Bang, ayo kita pulang! Sekarang Bang!” Uta
sudah menarik tangan Abangnya. Mereka kembali ke rumah.
*******
“Perempuan itu membuat nama baik keluarga kita
tercoreng…”
“Jangan-jangan apa yang dikatakan oleh tetangga itu
benar adanya Bang. Jangan-jangann ddd… dia.. adalah seorang silumaan…”
“Siluman atau bukan aku akan mengusirnya hari ini
juga” mereka berdua berjalan beriringan dengan langkah yang besar-besar.
Celotehan tetangga-tetangga itu sudah tertinggal di belakang. Yang ada kini
sebuah rumah. Rumah di tepi Mahakam. Di sinilah nanti amarah mereka meluap,
bagai gunung Krakatau yang sanggup memisahkan dua pulau.
*******
Brak! Pintu kayu tidak bersalah itu dibuka dengan
kasar. Dewi Sri yang sibuk menanak nasi di dapur terkejut. Tapi, belum sempat
dia beranjak dari dapur, Pasa dan Uta sudah berada di pintu sekat antara dapur
dan ruang tengah. Berdiri dengan wajah yang menyiratkan amarah dan Dewi Sri tahu
itu.
“Kalian rupanya.. ibu sampai terkejut nak. Bagaimana
memancingnya hari ini? Dapat ikan tak?” dia berkata seceria mungkin tapi dia
tidak bisa berbohong. Itu terlihat dari bibirnya yang bergetar.
“Tidak perlu berbasa-basi, IBU! Aku ingin kau pergi
dari rumah ini. Tinggalkan keluarga kami.” Uta pertama kali angkat bicara
“Ibu tidak mengerti nak, apa yang kau bicarakan.
Apakah kau sedang ada..”
“Apakah kau tidak dengar apa yang Adikku katakan?
Segeralah pergi sebelum aku yang menyeretmu keluar!” PRANGG! Kendi yang berada
disampingnya telah jatuh menyentuh lantai. Tak tau berapa kendi lagi yang akan
menjadi korban.
“Dengarkan Ibu dulu nak, Ibu masih tidak mengerti
apa yang kau bicarakan..”
“Kau bukan Ibuku.”
“Aku Ibumu Uta, meskipun aku tidak melahirkanmu, aku
akan selalu jadi Ibumu” Dewi Sri berkata dengan terisak. Air matanya sudah
pecah beberapa detik yang lalu. Dia mengatakan itu dengan tulus. Sungguh dengan
tulus.
“Asal kau tau kau bukan Ibu kami ataupun Ibu
siapapun. Kau seorsng siluman, siluman ikan!” meluap sudah amarah Pasa.
Dihempaskannya wadah nasi yang baru matang. Warna putih berceceran di lantai
rumah. Dewi Sri berhenti menangis seketika.
“Akan kukatakan semuanya padamu Pasa dan Uta. Aku
tidak pernah sakit hati walau kau membenciku, kau memakiku, kau mempermalukan
aku. aku tau kalian masih tidak bisa menganggap aku ibumu. Tapi, demi langit
yang biru aku tidak bisa menerimanya jika kau lebih percaya perkataan orang
lain tentangku. Aku sakit hati. Dengar ini nak, AKU SAKIT HATI” saat itu langit
yang cerah berubah menjadi kelabu pekat. Sang langit mendengar rintihan wanita
ini. Ia mulai terisak. Ia jelas sekali kecewa.
“Wahai penguasa langit! Aku sakit hati, bukan kerena
mereka memakiku, tapi karena dia tidak percaya lagi padaku. Hukum! Hukumlah
mereka! Kutuk! Kutuklah mereka. Sungguh mereka telah membuat Ibunya sakit hati!” Dewi Sri duduk bersimpuh memohon pada
penguasa langit. Dan hari itu Langit mendengarnya.
Kilat kian menyambar-nyambar. Kakak beradik itu
mulai gentar. Amarahnya berganti dengan kengerian. Mereka menjauh, dari Dewi
Sri. Namun sayang, sepasang kaki mereka menginjak nasi yang tumpah ke lantai
tadi. Nasi itu entah kenapa menjadi sangat panas hingga kaki keduanya melepuh.
Mereka panik, sungguh panik. Akhirnya tanpa pikir panjang larilah keduanya ke
sungai Mahakam untuk merendam kakinya yang sudah melepuh yang kulitnya sudah
mengelupas. Saat merendam kakinya ke sungai entah mengapa tubuh mereka berdua
seperti terbakar. Refleks, mereka berdua menceburkan diri ke Mahakam. Tidak
disangka-sangka mereka makin menggeliat-liat sejadi-jadinya.
“Wahai Penguasa Langit, kutarik lagi semua
perkataanku kepadamu. Aku memaafkan mereka! Aku memaafkan mereka sungguh!
Karena aku adalah Ibunya, aku tak tega wahai langit!” Dewi Sri panik lantas
menarik lagi kata-katanya
Kakak beradik itu berhenti menggeliat. Dewi Sri
bernapas lega. Kini dia memaafkannya. Kini dia tidak lagi sakit hati. Tapi
tampaknya, permohonannya tadi tidak bisa ditarik begitu saja.
Terkagetlah Dewi Sri ketika melihat di sungai ia
mendapati kedua anaknya telah berubah jadi ikan. Kaki yang tadi melepuh berubah
menjadi ekor yang menyatu. Badannya berubah menjadi kelabu. Dewi Sri sungguh
tidak percaya, kedua anaknya telah menjadi sepasang ikan yang kepalanya mirip
manusia. Ternyata, keputusan langit saat itu tidak dapat berubah. Tidak ada
yang bisa merubah perkataan Ibu yang telah sakit hati.
*******
Akhirnya cerita itu menyebar dari mulut ke mulut.
Mereka penasaran dengan
kehadiran ikan aneh itu. Dan ikan itu disebut sebagai ikan Pasut dari nama Pasa
dan Uta yang termakan amarahnya sendiri. Dan kuberitahu satu hal kecil lagi.
Ikan pasut itu lebih dikenal sebagai, Pesut Mahakam.
Berakhirlah kisah itu. Semua yang ada di saung reyot
itu menahan napasnya. Tampaknya Sang pendongeng menceritakannya dengan sangat
baik.
“Maka dari itu teman, jangan kau berani dengan mak
bapak kau!”
“Betul kata si Joni ini!” Sang Pendongeng setuju.
Lagi-lagi seisi saung tertawa
“Ris, Aris. Apakah pesut Mahakam itu nyata? Tanya
anak kurus, berkacamata yang tidak lain adalah Prayit
“Heheh,, begini teman….” Belum sempat Sang
Pendongeng menjawab, ia telah ambruk di samping saung. Mrintih kesakitan.
Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah ia tergigit oleh ular sawah. Satu
saung panik! Mereka tak tahu apa yang harus dilakukan.
“Kau! panggil Bapaknya Aris! Cepaaaaaat!!!” tiga
anak berlari, menyusul ayahnya.
Semua terjadi begitu chaos siang itu. Aris yang tak lain adalah Sang Pendongeng dibopong
menuju posyandu. Penanganan yang begitu lambat, membuat ia tak tertolong. Ia
meninggal Senja itu saat matahari mulai menampakkan sinar jingganya. Senja itu
tidak pernah terlupakan. Dan pada senja itu pula satu pertanyaan belum sempat
terjawab.
*******
Tapi, siang ini di ruangan bersih wangi nan nyaman
ini pertanyaan itu terjawab. Ku buka mesin pencari yang memang tergeletak di
meja kerjaku. Mengetik sesuatu, dan langsung menemukan banyak laman hanya dalam
waktu sepersekian detik. Lantas ku klik salah satu artikel. Loading.
“Bapak Prayit, rapat akan segera dimulai, Pak”
Sekretarisku berkata sopan.
“Lima menit lagi saya kesana.” Kataku sambil
mengangguk.
Kutengok lagi layar si mesin pencari. Lantas
kutemukan jawaban itu. Nama: Pesut Mahakam. Nama Latin: Orcaella brevirostris. Habitat: Sungai Mahakam, Kalimantan. Status:
TERANCAM PUNAH.
0 komentar:
Posting Komentar
Jika ada yang kurang jelas atau terjadi kesalahan dalam artikel di atas, tolong beri tahu kami dengan berkomentar. Mohon berkomentar dengan santun dan mengedepankan akhlak mulia. Terima Kasih.