MBOK JAH
Cerpen : Umar Kayam
Cerpen : Umar Kayam
No.
|
STRUKTUR
TEKS
|
KALIMAT
DALAM TEKS
|
1.
|
Abstrak
|
Sudah
dua tahun, baik pada Lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak “turun gunung”
keluar dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke
rumah bekas majikannya, keluarga Mulyono, di kota. Meski pun sudah berhenti
karena usia tua dan capek menjadi pembantu rumah, Mbok Jah tetap memelihara
hubungan yang baik dengan seluruh anggota keluarga itu. Dua puluh tahun telah
dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga yang sederhana
dan sedang-sedang saja kondisi ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah
tinggi, cukup saja, tetapi perlakuan yang baik dan penuh tepa slira dari
seluruh keluarga itu telah memberinya rasa aman, tenang dan tentram.
Alasan
: karena bagian tersebut merupakan ringkasan atu inti dari cerita
|
2.
|
Orientasi
|
Buat
seorang janda yang sudah selalu tua itu, apalah yang dikehendaki selain atap
untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagi pula anak tunggalnya
yang tinggal di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan tidak mau lagi
berhubungan dengannya. Tarikan dan pelukan istri dan anak-anaknya rupanya
begitu erat melengket hingga mampu melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa,
hiburnya.
Alasan
: karena bagian ini dari pengenalan dari seorang janda yang tak lain adalah
“Mbok Jah”.
|
3.
|
Komplikasi
|
Di rumah keluarga Mulyono ini dia merasa
mendapat semuanya. Tetapi waktu dia mulai merasa semakin renta, tidak sekuat
sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu. Dia merasa
menjadi buruh tumpangan gratis. Dan harga dirinya memberontak terhadap
keadaan itu. Diputuskannya untuk pulang saja ke desanya. Dia masih memiliki
warisan sebuah rumah desa yang meskipun sudah tua dan tidak terpelihara akan
dapat dijadikannya tempat tinggal di hari tua. Dan juga tegalan barang
sepetak dua petak masih ada juga. Pasti semua itu dapat diaturnya dengan anak
jauhnya di desa. Pasti mereka semua dengan senang hati akan menolongnya
mempersiapkan semuanya itu. Orang desa semua tulus hatisnya. Tidak seperti
kebanyakan orang kota, pikirnya. Sedikit-sedikit duit, putusnya.
Maka dikemukakannya ini kepada majikannya. Majikannya beserta seluruh anggota keluarganya, yang hanya terdiri dari suami istri dan dua orang anak, protes keras dengan keputusan Mbok Jah. Mbok Jah sudah menjadi bagian yang nyata dan hidup sekali dari rumah tangga ini, kata ndoro putri. Dan siapa yang akan mendampingin si Kedono dan si Kedini yang sudah beranjak dewasa, desah ndoro kakung. Wah, sepi lho mbok kalau tidak ada kamu. Lagi, siapa yang dapat bikin sambel trasi yang begitu sedap dan mlekok selain kamu, mbok, tukas Kedini dan Kedono. Pokoknya keluarga majikan tidak mau ditinggalkan oleh mbok Jah. Tetapi keputusan mbok Jah sudah mantap. Tidak mau menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya. Hingga jauh malam mereka tawar-menawar. Akhirnya diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan “turun gunung” dua kali dalam setahun yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri.
Mereka
lantas setuju dengan jalan tengah itu. Mbok Jah menepati janjinya. Waktu
Sekaten dan Idul Fitri dia memang datang. Seluruh keluarga Mulyono senang
belaka setiap kali dia datang. Bahkan Kedono dan Kedini selalu rela ikut
menemaninya duduk menglesot di halaman masjid kraton untuk mendengarkan suara
gamelan Sekaten yang hanya berbunyi tang-tung-tang-tung-grombyang itu. Malah
lama kelamaan mereka bisa ikut larut dan menikmati suasana Sekaten di masjid
itu.
“Kok suaranya aneh ya, mbok. Tidak seperti gamelan kelenangan biasanya.” “Ya, tidak Gus, Dan Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng Nabi Mohamad.” “Lha, Kanjeng Nabi apa tidak mengantuk mendengarkan ini, mbok.” “Lha, ya tidak. Kalau mau mendengarkan dengan nikmat pejamkan mata kalian.” Nanti rak kalian akan bisa masuk.” Mereka menurut. Dan betul saja, lama-lama suara gamelan Sekaten itu enak juga didengar. Selain Sekaten dan Idul Fitri itu peristiwa menyenangkan karena kedatangan mbok Jah, sudah tentu juga oleh-oleh mbok Jah dari desa. Terutama juadah yang halus, bersih dan gurih, dan kehebatan mbok Jah menyambal terasi yang tidak kunjung surut. Sambal itu ditaruhnya dalam satu stoples dan kalau habis, setiap hari dia masih akan juga menyambelnya. Belum lagi bila dia membantu menyiapkan hidangan lebaran yang lengkap. Orang tua renta itu masih kuat ikut menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan semuanya masih dikerjakannya dengan sempurna. Opor ayam, sambel goreng ati, lodeh, srundeng, dendeng ragi, ketupat, lontong, abon, bubuk kedela, bubuk udang, semua lengkap belaka disediakan oleh mbok Jah. Dari mana enerji itu datang pada tubuh orang tua itu tidak seorang pun dapat menduganya. Setiap dia pulang ke desanya, mbok Jah selalu kesulitan untuk melepaskan dirinya dan pelukan Kedono dan Kedini. Anak kembar laki-perempuan itu, meski sudah mahasiswa selalu saja mendudukkan diri mereka pada embok tua itu. Ndoro putri dan ndoro kakung selalu tidak lupa menyisipkan uang sangu beberapa puluh ribu rupiah dan tidak pernah lupa wanti-wanti pesan untuk selalu kembali setiap Sekaten dan Idul Fitri. “Inggih, ndoro-ndoro saya dan gus-den rara yang baik. Saya pasti akan datang.” Tetapi begitulah. Sudah dua Sekaten dan dua Lebaran terakhir mbok Jah tidak muncul. Keluarga Mulyono bertanya-tanya jangan-jangan mbok Jah mulai sakit-sakitan atau jangan-jangan malah…. “Ayo, sehabis Lebaran kedua kita kunjungi mbok Jah ke desanya,” putus ndoro kakung. “Apa bapak tahu desanya?” “Ah, kira-kira ya tahu. Wong di Gunung Kidul saja, lho. Nanti kita tanya orang.” Dan waktu untuk bertanya kesana kemari di daerah Tepus, Gunung Kidul, itu ternyata lama sekali. Pada waktu akhirnya desa mbok Jah itu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat jam dua siang. Perut Kedono dan Kedini sudah lapar meskipun sudah diganjal dengan roti sobek yang seharusnya sebagian untuk oleh-oleh mbok Jah. Desa itu tidak lndah, nyaris buruk, dan ternyata juga tidak makmur dan subur. Mereka semakin terkejut lagi waktu menemukan rumah mbok Jah. Kecil, miring dan terbuat dan gedek dan kayu murahan. Tegalan yang selalu diceriterakan ditanami dengan palawija nyaris gundul tidak ada apa-apanya. “Kula nuwun. Mbok Jah, mbok Jaah.” Waktu akhirnya pintu dibuka mereka terkejut lagi melihat mbok Jah yang tua itu semakin tua lagi. Jalannya tergopoh tetapi juga tertatih-tatih menyambut bekas majikannya. “Walah, walah, ndoro-ndoro saya yang baik, kok bersusah-susah mau datang ke desa saya yang buruk ini. Mangga, mangga, ndoro, silakan masuk dan duduk di dalam.” Di dalam hanya ada satu meja, beberapa kursi yang sudah reyot dan sebuah amben yang agaknya adalah tempat tidur mbok Jah. Mereka disilakan duduk. Dan keluarga Mulyono masih ternganga-nganga melihat kenyataan rumah bekas pembantu mereka itu. “Ndoro-ndoro, sugeng riyadi, nggih, minal aidin wal faifin. Semua dosa-dosa saya supaya diampuni, nggih, ndoro-ndoro, gus-den rara.” “Iya, iya, mbok. Sama-sama saling memaafkan.” “Lho, ini tadi pasti belum makan semua to? Tunggu, semua duduk yang enak, si mbok masakkan, nggih?” “Jangan repot-repot, mbok. Kita tidak lapar, kok. Betul!” “Aah, pasti lapar. Lagi ini sudah hampir asar. Saya masakkan nasi tiwul, nasi dicampur tepung gaplek, nggih.”
Alasan
: karena pada bagian ini terdapat masalah yaitu kebingungan Mbok Jah antara
ingin mengikuti keinginan majikannya atau tetap tinggal di desa.
|
4.
|
Evaluasi
|
Tanpa
menunggu pendapat ndoro-ndoronya mbok Jah langsung saja menyibukkan dirinya
menyiapkan makanan. Kedono dan Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka
kemudian menyaksikan bagaimana mbok Jah mereka yang di dapur mereka di kota
dengan gesit menyiapkan makanan dengan kompor elpiji dengan nyala api yang
mantap, di dapur desa itu, yang sesungguhnya juga di ruang dalam termpat
mereka duduk, mereka menyaksikan si mbok dengan sudah payah meniup
serabut-serabut kelapa yang agaknya tidak cukup kering mengeluarkan api.
Akhirnya semua makanan itu siap juga dihidangkan di meja. Yang disebutkan
sebagai semua makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus dan sambal cabe
merah dengan garam saja. Air minum disediakan di kendi yang terbuat dari
tanah. “Silakan ndoro, makan seadanya. Tiwul Gunung Kidul dan sambelnya mbok
Jah tidak pakai terasi karena kehabisan terasi dan temannya cuma daun
singkong yang direbus.”
Alasan
: pada bagian ini Mbok Jah mulai menemukan solusi dari permasalahannya.
|
5.
|
Resolusi
|
Mereka
pun makan pelan-pelan. Mbok Jah yang di rumah mereka kadang-kadang masak
spagetti atau sup makaroni di rumahnya hanya mampu masak tiwul dengan daun
singkong rebus dan sambal tanpa terasi. Dan keadaan rumah itu? Ke mana saja
uang tabungannya yang lumayan itu pergi? Bukankah dia dulu berani pulang ke
desa karena yakin sanak saudaranya akan dapat menolong dan menampungnya dalam
desa itu? Keluarga itu, seakan dibentuk oleh pertanyaan batin kolektif,
membayangkan berbagai kemungkinan. Dan Mbok Jah seakan mengerti apa yang
sedang dipikir dan dibayangkan oleh ndoro-ndoronya segera menjelaskan.
“Sanak saudara saya itu miskin semua kok, ndoro. Jadi uang sangu saya dan kota lama-lama ya habis buat bantu ini dan itu.” “Lha, lebaran begini apa mereka tidak datang to, mbok?” Mbok Jah tertawa. “Lha, yang dicari di sini itu apa lho, ndoro. Ketupat sama opor ayam?” “Anakmu?” Mbok Jah menggelengkan kepala tertawa kecut. “Saya itu punya anak to, ndoro?” Kedono dan Kedini tidak tahan lagi. Diletakkan piring mereka dan langsung memegang bahu embok mereka. “Kau ikut kami ke kota ya? Harus! Sekarang bersama kami!” Mbok Jah tersenyum tapi menggelengkan kepalanya. “Si mbok tahu kalau anak-anakku akan menawarkan ini. Kalian anak-anakku yang baik. Tapi tidak, gus-den rara, rumah si mbok di hari tua ya di sini mi. Nanti Sekaten dan Lebaran akan datang saya pasti datang. Betul.”
Alasan
: Mbok Jah sudah menemukan solusinya dengan tetap tinggal di desa.
|
6.
|
Koda
|
Mereka pun tahu itu keputusan yang tidak
bisa ditawar lagi. Lalu mereka pamit mau pulang. Tetapi hujan turun semakin
deras dan rapat. Mbok Jah mengingatkan ndoro kakungnya kalau hujan begitu
akan susah mengemudi. Jalan akan tidak kelihatan saking rapatnya air hujan
turun. Di depan hanya akan kelihatan warna putih dan kelabu. Mereka pun
lantas duduk berderet di amben di beranda memandang ke tegalan. Benar tegalan
itu berwarna putih dan kelabu.
Alasan : pada bagian ini merupakan
keputusan dan majikannya bisa memahami keinginan Mbok Jah.
|
0 komentar:
Posting Komentar
Jika ada yang kurang jelas atau terjadi kesalahan dalam artikel di atas, tolong beri tahu kami dengan berkomentar. Mohon berkomentar dengan santun dan mengedepankan akhlak mulia. Terima Kasih.