ANALISIS CERPEN MACAN LAPAR
KARYA : DANARTO
N0.
|
STUKTUR TEKS
|
KALIMAT DALAM TEKS
|
1. |
Abstrak |
Ketika saya membaca SMS dari
sahabat saya William John dari California bahwa ia akan datang ke Solo untuk
mencari Putri Solo yang gaya berjalannya seperti Macan Lapar, saya terbahak.
Ketika ia melanjutkan SMS-nya bahwa jika ia tidak menemukan seorang Putri
Solo yang Macan Lapar itu, dalam bahasa Jawa: Macan Luwe, berarti saya
menyembunyikannya. Lagi-lagi saya terbahak.
Sebaliknya saya mengancam,
jika ia main-main saja dengan Putri Solo, misalnya mengajaknya kumpul kebo,
saya akan melaporkannya ke Presiden Obama. Ternyata John berani bersumpah
bahwa ia serius akan menikahi Putri Solo yang Macan Lapar itu dan
memboyongnya ke Amerika. Anak keturunannya kelak, janji John, merupakan
masyarakat baru Amerika yang akan mendatangkan berkah. Saya menyambutnya
dengan mengucap amin, amin, amin. Okey, jawab saya. Insya Allah,
John, saya akan membantumu untuk menemukan Putri Solo si Macan Lapar itu.
|
2. |
Orientasi |
John adalah seorang arkeolog.
Perkenalannya dengan dunia Timur ketika ia melancong ke Jawa Tengah dan Jawa
Timur untuk memelototi candi-candi. Waktu itu ia masih berusia 23 tahun,
sedang giat-giatnya menjaring ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Candi
Borobudur sudah tentu, Prambanan, Mendut, Sukuh, Panataran, semuanya, sudah
pindah ke benaknya. Tentu banyak lagi. Setelah John menjadi profesor di usia
25, ia sadar bahwa tak ada gunanya seorang profesor yang jomblo. Ia merasa
sangat kesepian. John sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan sejumlah
mahasiswinya. Tapi semuanya menolak untuk dinikahi, yang membuat John
uring-uringan.
Menurut John, masa bahagia
adalah ketika kuliah di Solo, ia menginap di rumah saya di bilangan
Notosuman, bertetangga dengan kedai Srabi Notosuman yang termasyhur itu.
Bagaimana ia tidak berbahagia, segalanya tersedia dengan gampang. Tidak
seperti di Amerika yang segalanya harus ia lakukan sendiri, di Solo jika
lapar bisa langsung makan, bila pengin ngopi tinggal pesan, bila pakaian
kotor tinggal dilemparkan. Jika nonton pertunjukan, pergi kuliah, maupun
piknik, cukup dengan naik sepeda.
|
3. |
Komplikasi |
Di universitasnya, UCLA, John
berkenalan dengan Eko, seorang penari dari Solo yang sedang melakukan tur ke
30 universitas Amerika untuk menari. Eko menyarankan supaya John menikah
dengan gadis Solo saja. Di samping gemi, nastiti, ngati-ati (irit,
terperinci, berhati-hati), putri Solo gaya berjalannya persis macan lapar
yang bisa membekukan waktu.
Tetapi, menurut Fafa Dyah
Kusumaning Ayu, seorang DJ yang menjelma sejarawan yang mbaurekso
(mengayomi) kota Solo, putri S5.olo yang gaya berjalannya persis macan lapar
itu sudah tidak ada lagi. Menurut dia, dari satu artikel yang dibacanya,
putri Solo yang demikian, yang terakhir terlihat di zaman penjajahan Jepang,
yaitu di tahun 40-an. Mendengar ini, Eko dari Boston kirim SMS: Fafa, lo
jangan bikin John pesimistis. Fafa pun menjawab: Eko, lo jangan mengada-ada.
Di bandara Adi Sumarmo, Solo,
saya dan anak-anak, Ning, Nong, dan Nug, menjemput John yang datang lewat
Bali. Di rumah, ibunya anak-anak menyiapkan nasi goreng ikan asin kesukaan
John. Ia tinggal di rumah penginapan penduduk yang banyak bertebaran di
kampung-kampung. Serta-merta ia diminta mengajar di ISI (Institut Seni
Indonesia) untuk mata pelajaran arkeologi budaya.
Menurut Fafa, gaya berjalan
Macan Lapar adalah gaya berjalan yang bertumpu pada pinggul dan pundak. Jika
melangkah, sebagaimana orang berjalan, pinggul kanan berkelok muncul keluar
dari garis tubuh, maka pundak kiri lunglai ke depan. Begitu bergantian,
pinggul kiri mencuat, pundak kanan lunglai ke depan. Irama ini dalam paduan
langkah yang pelan. Gaya berjalan begini akhirnya diadopsi oleh para art director
fashion show menjadi gaya berjalan yang kita kenal sekarang oleh para
peragawati di seluruh dunia di atas cat-walk. Megal-megol-nya
para peragawati Eropa, Amerika, maupun Asia, menurut Fafa sangat teknis. Hal
itu tampak ketika para peragawati sudah tidak di atas cat-walk lagi,
mereka ternyata berjalan biasa saja, sebagaimana orang-orang biasa berjalan.
Artinya, megal-megol mereka di atas cat-walk belum
merupakan kekayaan budaya fashion show. Padahal macan laparnya putri
Solo itu tulen, alamiah, menyatu dengan tubuh yang hidup dalam budaya
tradisinya. Meski cuma berjalan di dalam rumahnya, gaya berjalan Putri Solo
tetap persis macan lapar. Sehingga Putri Solo jauh lebih gandes, luwes,
kewes, dan sensuous.
|
4. |
Evaluasi |
Pada suatu hari di siang yang
panas, ketika saya dan Nug selesai jumatan di Masjid Gede, lalu bergabung
dengan Ning, Nong, dan ibunya anak-anak untuk menikmati tengkleng, semacam
sop tetelan daging sapi atau kambing khas Solo di gerbang Pasar Klewer,
tiba-tiba menghambur John di sela kerumunan orang yang antre tengkleng,
sambil berkata mantap:
”Saya sudah dapat si Macan Lapar.””Alhamdulillah,” sahut saya.
Lepas ashar di gerbang Keraton
Susuhunan, sejumlah orang berkumpul: John, Fafa, mas Rahayu Supanggah
(komponis), mas Modrik Sangidu (aktivis), Sadra (komponis), Slamet Gundono
(dalang), Suprapto Suryodarmo (guru spiritual), dan pak Jokowi (wali kota
Solo) sedang berharap-harap cemas sambil mencereng menatap jalanan. Kami
semua diundang John untuk menerima kejutan.
|
5. |
Resolusi |
Mendadak muncul seorang gadis
yang berpakaian lengkap mengesankan seorang penari. Kami terperangah melihat
gaya jalannya yang Macan Lapar. Ketika pinggul kanan mencuat ke samping,
pundak kanan tertarik ke belakang, sedang pundak kiri mencuat ke depan.
Begitu bergantian. Sungguh cara berjalan yang menggetarkan. Langkah yang
pelan, yang pasti, yang terkonsentrasi penuh. Namun gaya ini—sekali
lagi–tulen. Gadis itu melenggang ke pintu masuk keraton ketika tiba-tiba John
meloncat mengejarnya. Fafa mencoba menahan John. Saya dan Modrik serta pak
Jokowi ikut berlari mengejar. Prapto, Sadra, dan Panggah terbahak. Gundono
berteriak dan tertawa, ”Kejar! Kejar!” sambil mencakar cukelelenya
keras-keras membangun ketegangan.
Ketika John mencapai teras
keraton, kami melihat pemandangan yang mengerikan: John jadi Cleret Gombel!
Menyaksikan John yang bermetamorfosis jadi sebangsa bunglon yang bisa terbang
itu, gadis yang dikejar itu berteriak-teriak ketakutan lalu meloncat ke dalam
ke halaman dalam keraton. Kami berloncatan meringkus John si Cleret Gombel.
Saya dan pak Jokowi terlempar. Fafa menjerit karena si Cleret Gombel
menggeram sambil memperlihatkan taringnya. Mas Modrik yang persis Samson itu
dengan kuat meringkus John hingga roboh. John terus meronta menggeram-geram
sambil unjuk taringnya yang putih berkilat. Kemudian dengan mobil hardtop mas
Modrik, ramai-ramai John kami serahkan kepada pak Oei Hong Djien, guru
spiritual yang khusus menangani keseimbangan pikiran dan perasaan, dari
komunitas kebatinan Sumarah. Kami sepakat membantu John untuk melamar penari
Macan Lapar itu yang kemudian ketahuan namanya Intan Paramaditha.
|
6. |
Koda |
Belakangan pak Jokowi
melakukan rapat maraton dengan para budayawan Solo untuk membahas tentang
rencananya melakukan revitalisasi gaya melenggok ala Macan Lapar ini. Kota
Solo diyakini menjadi satu-satunya kota di dunia yang punya gaya berjalan
putri-putrinya yang elegan itu.
|
Macan Lapar
Karya : Danarto
Karya : Danarto
Ketika saya membaca SMS dari
sahabat saya William John dari California bahwa ia akan datang ke Solo untuk
mencari Putri Solo yang gaya berjalannya seperti Macan Lapar, saya terbahak.
Ketika ia melanjutkan SMS-nya bahwa jika ia tidak menemukan seorang Putri Solo
yang Macan Lapar itu, dalam bahasa Jawa: Macan Luwe, berarti saya
menyembunyikannya. Lagi-lagi saya terbahak.
Sebaliknya saya mengancam, jika
ia main-main saja dengan Putri Solo, misalnya mengajaknya kumpul kebo, saya
akan melaporkannya ke Presiden Obama. Ternyata John berani bersumpah bahwa ia
serius akan menikahi Putri Solo yang Macan Lapar itu dan memboyongnya ke
Amerika. Anak keturunannya kelak, janji John, merupakan masyarakat baru Amerika
yang akan mendatangkan berkah. Saya menyambutnya dengan mengucap amin, amin,
amin. Okey, jawab saya. Insya Allah, John, saya akan membantumu untuk
menemukan Putri Solo si Macan Lapar itu.
John adalah seorang arkeolog.
Perkenalannya dengan dunia Timur ketika ia melancong ke Jawa Tengah dan Jawa
Timur untuk memelototi candi-candi. Waktu itu ia masih berusia 23 tahun, sedang
giat-giatnya menjaring ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Candi Borobudur
sudah tentu, Prambanan, Mendut, Sukuh, Panataran, semuanya, sudah pindah ke
benaknya. Tentu banyak lagi. Setelah John menjadi profesor di usia 25, ia sadar
bahwa tak ada gunanya seorang profesor yang jomblo. Ia merasa sangat kesepian.
John sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan sejumlah mahasiswinya. Tapi
semuanya menolak untuk dinikahi, yang membuat John uring-uringan.
Menurut John, masa bahagia
adalah ketika kuliah di Solo, ia menginap di rumah saya di bilangan Notosuman,
bertetangga dengan kedai Srabi Notosuman yang termasyhur itu. Bagaimana ia
tidak berbahagia, segalanya tersedia dengan gampang. Tidak seperti di Amerika
yang segalanya harus ia lakukan sendiri, di Solo jika lapar bisa langsung
makan, bila pengin ngopi tinggal pesan, bila pakaian kotor tinggal dilemparkan.
Jika nonton pertunjukan, pergi kuliah, maupun piknik, cukup dengan naik sepeda.
Di universitasnya, UCLA, John
berkenalan dengan Eko, seorang penari dari Solo yang sedang melakukan tur ke 30
universitas Amerika untuk menari. Eko menyarankan supaya John menikah dengan
gadis Solo saja. Di samping gemi, nastiti, ngati-ati (irit,
terperinci, berhati-hati), putri Solo gaya berjalannya persis macan lapar yang
bisa membekukan waktu.
Tetapi, menurut Fafa Dyah
Kusumaning Ayu, seorang DJ yang menjelma sejarawan yang mbaurekso
(mengayomi) kota Solo, putri Solo yang gaya berjalannya persis macan lapar itu
sudah tidak ada lagi. Menurut dia, dari satu artikel yang dibacanya, putri Solo
yang demikian, yang terakhir terlihat di zaman penjajahan Jepang, yaitu di
tahun 40-an. Mendengar ini, Eko dari Boston kirim SMS: Fafa, lo jangan bikin
John pesimistis. Fafa pun menjawab: Eko, lo jangan mengada-ada.
Di bandara Adi Sumarmo, Solo,
saya dan anak-anak, Ning, Nong, dan Nug, menjemput John yang datang lewat Bali.
Di rumah, ibunya anak-anak menyiapkan nasi goreng ikan asin kesukaan John. Ia
tinggal di rumah penginapan penduduk yang banyak bertebaran di kampung-kampung.
Serta-merta ia diminta mengajar di ISI (Institut Seni Indonesia) untuk mata
pelajaran arkeologi budaya.
Menurut Fafa, gaya berjalan
Macan Lapar adalah gaya berjalan yang bertumpu pada pinggul dan pundak. Jika
melangkah, sebagaimana orang berjalan, pinggul kanan berkelok muncul keluar
dari garis tubuh, maka pundak kiri lunglai ke depan. Begitu bergantian, pinggul
kiri mencuat, pundak kanan lunglai ke depan. Irama ini dalam paduan langkah
yang pelan. Gaya berjalan begini akhirnya diadopsi oleh para art director
fashion show menjadi gaya berjalan yang kita kenal sekarang oleh para
peragawati di seluruh dunia di atas cat-walk. Megal-megol-nya
para peragawati Eropa, Amerika, maupun Asia, menurut Fafa sangat teknis. Hal
itu tampak ketika para peragawati sudah tidak di atas cat-walk lagi,
mereka ternyata berjalan biasa saja, sebagaimana orang-orang biasa berjalan.
Artinya, megal-megol mereka di atas cat-walk belum merupakan
kekayaan budaya fashion show. Padahal macan laparnya putri Solo itu
tulen, alamiah, menyatu dengan tubuh yang hidup dalam budaya tradisinya. Meski
cuma berjalan di dalam rumahnya, gaya berjalan Putri Solo tetap persis macan
lapar. Sehingga Putri Solo jauh lebih gandes, luwes, kewes, dan sensuous.
Pada suatu hari di siang yang
panas, ketika saya dan Nug selesai jumatan di Masjid Gede, lalu bergabung
dengan Ning, Nong, dan ibunya anak-anak untuk menikmati tengkleng, semacam sop
tetelan daging sapi atau kambing khas Solo di gerbang Pasar Klewer, tiba-tiba
menghambur John di sela kerumunan orang yang antre tengkleng, sambil berkata
mantap:
”Saya sudah dapat si Macan Lapar.””Alhamdulillah,” sahut saya.
Lepas ashar di gerbang Keraton
Susuhunan, sejumlah orang berkumpul: John, Fafa, mas Rahayu Supanggah
(komponis), mas Modrik Sangidu (aktivis), Sadra (komponis), Slamet Gundono
(dalang), Suprapto Suryodarmo (guru spiritual), dan pak Jokowi (wali kota Solo)
sedang berharap-harap cemas sambil mencereng menatap jalanan. Kami semua
diundang John untuk menerima kejutan.
Mendadak muncul seorang gadis
yang berpakaian lengkap mengesankan seorang penari. Kami terperangah melihat
gaya jalannya yang Macan Lapar. Ketika pinggul kanan mencuat ke samping, pundak
kanan tertarik ke belakang, sedang pundak kiri mencuat ke depan. Begitu
bergantian. Sungguh cara berjalan yang menggetarkan. Langkah yang pelan, yang
pasti, yang terkonsentrasi penuh. Namun gaya ini—sekali lagi–tulen. Gadis itu
melenggang ke pintu masuk keraton ketika tiba-tiba John meloncat mengejarnya.
Fafa mencoba menahan John. Saya dan Modrik serta pak Jokowi ikut berlari
mengejar. Prapto, Sadra, dan Panggah terbahak. Gundono berteriak dan tertawa,
”Kejar! Kejar!” sambil mencakar cukelelenya keras-keras membangun ketegangan.
Ketika John mencapai teras
keraton, kami melihat pemandangan yang mengerikan: John jadi Cleret Gombel!
Menyaksikan John yang bermetamorfosis jadi sebangsa bunglon yang bisa terbang
itu, gadis yang dikejar itu berteriak-teriak ketakutan lalu meloncat ke dalam
ke halaman dalam keraton. Kami berloncatan meringkus John si Cleret Gombel.
Saya dan pak Jokowi terlempar. Fafa menjerit karena si Cleret Gombel menggeram
sambil memperlihatkan taringnya. Mas Modrik yang persis Samson itu dengan kuat
meringkus John hingga roboh. John terus meronta menggeram-geram sambil unjuk
taringnya yang putih berkilat. Kemudian dengan mobil hardtop mas Modrik,
ramai-ramai John kami serahkan kepada pak Oei Hong Djien, guru spiritual yang khusus
menangani keseimbangan pikiran dan perasaan, dari komunitas kebatinan Sumarah.
Kami sepakat membantu John untuk melamar penari Macan Lapar itu yang kemudian
ketahuan namanya Intan Paramaditha.
Belakangan pak Jokowi melakukan
rapat maraton dengan para budayawan Solo untuk membahas tentang rencananya
melakukan revitalisasi gaya melenggok ala Macan Lapar ini. Kota Solo diyakini
menjadi satu-satunya kota di dunia yang punya gaya berjalan putri-putrinya yang
elegan itu.
*****
0 komentar:
Posting Komentar
Jika ada yang kurang jelas atau terjadi kesalahan dalam artikel di atas, tolong beri tahu kami dengan berkomentar. Mohon berkomentar dengan santun dan mengedepankan akhlak mulia. Terima Kasih.