Menganalisis Cerpen Si Lugu dan Si Malin Kundang





Vikandini Putri P. N.
XI-IA.2/26

MENGANALISIS CERPEN SI LUGU DAN SI MALIN KUNDANG
No.
Struktur Isi Cerita
Hasil Analisis Cerpen
1.
Abstraksi
Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam itu bukanlah tugasnya.
2.
Orientasi
“Ada apa ini?” katanya sambil mendekat. Dia lihat orang tua itu meletakkan barang bawaannya di sekitar dirinya yang sangat letih. Ayam jantan itu menjulurkan kepalanya dari dalam sangkar anyaman daun kelapa menghirup udara segar.
Orang tua ini mau masuk ke dalam. Dia berkeras kalau salah seorang penghuni rumah mewah yang kujaga ini adalah anaknya. Aku tak percaya. Apalagi dia hanya bisa menyebut nama anaknya. Sedang yang lain, yang dibutuhkan untuk mencari sebuah rumah tidak dapat dia sebutkan. Maka aku tidak mempercayainya.”
“Bapak tentu datang dari kampung. Barang bawaan ini menunjukkannya.”
Polisi itu memerhatikan kepala ayam yang terjulur dari dalam anyaman daun kelapa tidak jauh dari dia berdiri. Dia lihat mata ayam itu merah. Paruh ayam ternganga. Kerongkongan bergerak-gerak mengatur napas. Lidahnya terjulur meneteskan liur.
3.
Komplikasi
“Ayam ini tidak boleh dibiarkan hidup di sekitar kita. Kulihat tanda-tanda pembawa virus dimilikinya.” Dicabutnya pistol. “Mengorbankan sebutir peluru lebih baik daripada membiarkan virus yang dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.” Dia arahkan moncong pistol ke kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata ayam itu. Paruhnya yang menganga, kerongkongan yang bergerak terus mengatur napas. Lidah menjulur mengeluarkan liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus dimusnahkan. Satu butir peluru…,” dia mulai menimbang-nimbang, “sayang juga.” Dia balikkan arah pistol. Moncong pistol dia pegang. Dia sangat berbakat dalam hal tak berperasaan. Dia tetak kepala ayam itu dengan gagang pistol. Ayam menggelupur dalam anyaman daun kelapa. Dia menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah mewah itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman daun kelapa. Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus menggelepar ke dalam lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan daun-daun kering. Orang tua itu ternganga melihat semua itu.
4.
Resolusi
“Jadi Engkau juga tidak percaya kalau aku adalah ayah dari salah seorang penghuni kompleks perumahan ini? Aku tidak boleh masuk mencari rumah anakku. Aku tidak boleh mengetuk dari pintu ke pintu sampai aku menemukan pintu rumah anakku.”
“Tidak boleh.” Polisi lalu lintas itu sekarang telah mengambil alih menangani orang tua itu. Dia lupa pada tugasnya sebagi polisi lalu lintas. Dia telah mengambil alih tugas sekuriti rumah mewah itu. Sekarang dia merasa dialah yang harus menangani orang tua itu.
“Di sini tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin dan tidak masuk akal, ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini adalah Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian orang yang tak berpunya. Hampir sama dengan pakaian fakir miskin. Apa lagi ini.”
“Jadi Engkau tidak percaya kalau aku adalah orangtua salah seorang penghuni rumah mewah yang kalian katakan itu? Kalian adalah masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili masyarakat itu! Engkau akan menjadi batu.” Orang tua itu menunjuk ke polisi lalu lintas itu. Polisi lalu lintas itu terkejut:
Apa maksud orang tua ini? Aku mewakili masyarakat Malin Kundang? Legenda itu menceritakan orang-orang tidak percaya kalau wanita tua yang mengenakan pakaian yang dia punya adalah ibu si Malin Kundang. Tidaklah mungkin wanita tua terlunta-lunta di tepi pantai menunggu kedatangan anaknya adalah ibu seorang kaya raya. Ibu orang yang bepergian dengan kapal miliknya dari pulau ke pulau, menjalankan usaha di jalur perdagangannya. Dia datang ke pulau itu rindu akan kampung halamannya. Ibunya mendengar kabar kedatangan anaknya. Dia datang menyambut, tetapi orang-orang menertawakannya dan mengejeknya. Malin Kundang tidak mengakuinya sebagai ibu. Jadi, orang tua ini merasa diperlakukan seperti yang dilakukan Malin Kundang terhadap ibunya.
“Ya, betul. Kami tidak percaya. Bapak tidak mungkin ayah dari salah seorang pemilik rumah mewah ini.”
“Apa Engkau mau menjadi batu?”
Polisi lalu lintas itu tersenyum. Dia merasa ucapan orang tua itu sebuah lelucon.
5.
Evaluasi
Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari bepergian.
“Tunggu sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…, seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua ikat jagung, dan sebuah nangka.”
“Ya, betul. Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
“Ya, itu adalah ayah!”
Lelaki itu membuka pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya.
“Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya. Si istri mencium tangan laki-laki tua itu.
“Ayah!” Katanya.
Si Polisi lalu lintas tercengang menyaksikan peristiwa itu. Penjaga kompleks perumahan mewah itu juga tercengang. Buru-buru dia membuka pintu gerbang.
“Ayo, Ayah!” Kata laki-laki itu membimbing ayahnya masuk ke dalam mobil. Si wanita memeluk ayah suaminya itu dan mendudukkannya di bangku depan. Sebelum pintu tertutup, orang tua itu masih sempat menoleh ke polisi lalu lintas itu.

6.
Koda
Dia tersenyum. Mungkin dia teringat satu pengalaman waktu dia naik taksi bersama keluarga. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas di perempatan jalan dari arah taksi yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia coba uji ketaatan si sopir. “Tidak ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut saja, Pak.” “Jangan. Saya patuh pada peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan lebat itu. Dia memberi hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di sebelah kiri di depan kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.” “Jangan. Tunggu hijau. Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk mengingatkan para pengguna jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai polisi yang sedang tidak mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang dikatakan sopir taksi itu. “Ada satu lagi Polisi yang berisiko kalau kita tidak mengindahkannya walau sebenarnya dia tidak terjaga. “Polisi apa itu?” “Polisi Tidur.”
Lelaki yang didatangi ayahnya itu ingin membawa ayahnya berjalan-jalan melihat-lihat kota. Kali ini lelaki itu membawa langsung mobil mewahnya bersama istrinya yang duduk di sampingnya. Dia puas bisa menyenang-nyenangkan ayahnya. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas tiba-tiba berwarna merah waktu mobil itu sampai di perempatan. Mobil dia hentikan. Setelah menunggu agak lama, si istri berpaling ke kiri dan ke kanan, lalu berkata.
“Aman Pa. Jalan saja.”
“Jangan. Kita harus patuh pada peraturan lalu lintas. Coba lihat polisi itu. Dia hormat kepada kita di bawah guyuran hujan lebat.”
“Di sebelah mana? Aku tidak melihat ada polisi.”
“Sebelah kiri di depan kita.”
“O, itu. Itu kan patung.”
Orang tua itu mendengar apa yang dibicarakan anak dan menantunya. Dia melihat ke depan, ke arah yang dikatakan anak dan menantunya. Tampak olehnya Polisi Patung di bawah guyuran hujan lebat dalam posisi memberi hormat kepada mereka. Mobil pun berjalan karena lampu telah hijau. Dari jendela orang tua itu melihat ke luar. Dia perhatikan patung polisi itu dalam guyuran hujan. Dia iba melihat Polisi Patung itu. Dia tiba-tiba tersentak.
“Ya Allah. Polisi itu…, menjadi batu….”


0 komentar:

Posting Komentar

Jika ada yang kurang jelas atau terjadi kesalahan dalam artikel di atas, tolong beri tahu kami dengan berkomentar. Mohon berkomentar dengan santun dan mengedepankan akhlak mulia. Terima Kasih.