No.
|
Struktur
Isi Cerita
|
Hasil
Analisis Cerpen
|
1.
|
Abstraksi
|
Sekuriti
kompleks perumahan mewah menghambat masuk orang tua dengan beban sepikul
hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang tua itu mengatakan dia
berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu. Setandan
pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan seekor ayam. Polisi lalu
lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan kendaraan roda duanya. Dia
ingin tahu walau sebenarnya hal semacam itu bukanlah tugasnya.
|
2.
|
Orientasi
|
“Ada
apa ini?” katanya sambil mendekat. Dia lihat orang tua itu meletakkan barang
bawaannya di sekitar dirinya yang sangat letih. Ayam jantan itu menjulurkan
kepalanya dari dalam sangkar anyaman daun kelapa menghirup udara segar.
Orang
tua ini mau masuk ke dalam. Dia berkeras kalau salah seorang penghuni rumah
mewah yang kujaga ini adalah anaknya. Aku tak percaya. Apalagi dia hanya bisa
menyebut nama anaknya. Sedang yang lain, yang dibutuhkan untuk mencari sebuah
rumah tidak dapat dia sebutkan. Maka aku tidak mempercayainya.”
“Bapak
tentu datang dari kampung. Barang bawaan ini menunjukkannya.”
Polisi
itu memerhatikan kepala ayam yang terjulur dari dalam anyaman daun kelapa
tidak jauh dari dia berdiri. Dia lihat mata ayam itu merah. Paruh ayam
ternganga. Kerongkongan bergerak-gerak mengatur napas. Lidahnya terjulur
meneteskan liur.
|
3.
|
Komplikasi
|
“Ayam
ini tidak boleh dibiarkan hidup di sekitar kita. Kulihat tanda-tanda pembawa
virus dimilikinya.” Dicabutnya pistol. “Mengorbankan sebutir peluru lebih
baik daripada membiarkan virus yang dibawanya menyebar di kompleks perumahan
ini.” Dia arahkan moncong pistol ke kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata
ayam itu. Paruhnya yang menganga, kerongkongan yang bergerak terus mengatur
napas. Lidah menjulur mengeluarkan liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus
dimusnahkan. Satu butir peluru…,” dia mulai menimbang-nimbang, “sayang juga.”
Dia balikkan arah pistol. Moncong pistol dia pegang. Dia sangat berbakat
dalam hal tak berperasaan. Dia tetak kepala ayam itu dengan gagang pistol.
Ayam menggelupur dalam anyaman daun kelapa. Dia menoleh ke sekuriti, “Bawa ke
sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah mewah itu mengambil ayam yang masih
menggelepar-gelepar di dalam anyaman daun kelapa. Dia pun menggali lubang,
memasukkan ayam yang masih terus menggelepar ke dalam lubang, dan membakarnya
dengan ranting-ranting kering dan daun-daun kering. Orang tua itu ternganga
melihat semua itu.
|
4.
|
Resolusi
|
“Jadi
Engkau juga tidak percaya kalau aku adalah ayah dari salah seorang penghuni
kompleks perumahan ini? Aku tidak boleh masuk mencari rumah anakku. Aku tidak
boleh mengetuk dari pintu ke pintu sampai aku menemukan pintu rumah anakku.”
“Tidak
boleh.” Polisi lalu lintas itu sekarang telah mengambil alih menangani orang
tua itu. Dia lupa pada tugasnya sebagi polisi lalu lintas. Dia telah
mengambil alih tugas sekuriti rumah mewah itu. Sekarang dia merasa dialah
yang harus menangani orang tua itu.
“Di
sini tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin dan tidak masuk akal, ayah dari
salah seorang penghuni rumah mewah ini adalah Bapak. Pakaian Bapak adalah
pakaian orang yang tak berpunya. Hampir sama dengan pakaian fakir miskin. Apa
lagi ini.”
“Jadi
Engkau tidak percaya kalau aku adalah orangtua salah seorang penghuni rumah
mewah yang kalian katakan itu? Kalian adalah masyarakat Malin Kundang. Engkau
mewakili masyarakat itu! Engkau akan menjadi batu.” Orang tua itu menunjuk ke
polisi lalu lintas itu. Polisi lalu lintas itu terkejut:
Apa
maksud orang tua ini? Aku mewakili masyarakat Malin Kundang? Legenda itu
menceritakan orang-orang tidak percaya kalau wanita tua yang mengenakan
pakaian yang dia punya adalah ibu si Malin Kundang. Tidaklah mungkin wanita
tua terlunta-lunta di tepi pantai menunggu kedatangan anaknya adalah ibu
seorang kaya raya. Ibu orang yang bepergian dengan kapal miliknya dari pulau
ke pulau, menjalankan usaha di jalur perdagangannya. Dia datang ke pulau itu
rindu akan kampung halamannya. Ibunya mendengar kabar kedatangan anaknya. Dia
datang menyambut, tetapi orang-orang menertawakannya dan mengejeknya. Malin
Kundang tidak mengakuinya sebagai ibu. Jadi, orang tua ini merasa diperlakukan
seperti yang dilakukan Malin Kundang terhadap ibunya.
“Ya,
betul. Kami tidak percaya. Bapak tidak mungkin ayah dari salah seorang
pemilik rumah mewah ini.”
“Apa
Engkau mau menjadi batu?”
Polisi
lalu lintas itu tersenyum. Dia merasa ucapan orang tua itu sebuah lelucon.
|
5.
|
Evaluasi
|
Sebuah
mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu.
Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta
kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari bepergian.
“Tunggu
sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia
menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…,
seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua
ikat jagung, dan sebuah nangka.”
“Ya,
betul. Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
“Ya,
itu adalah ayah!”
Lelaki
itu membuka pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya.
“Ayah!”
Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air
matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke
dalam dekapannya. Si istri mencium tangan laki-laki tua itu.
“Ayah!”
Katanya.
Si
Polisi lalu lintas tercengang menyaksikan peristiwa itu. Penjaga kompleks
perumahan mewah itu juga tercengang. Buru-buru dia membuka pintu gerbang.
“Ayo,
Ayah!” Kata laki-laki itu membimbing ayahnya masuk ke dalam mobil. Si wanita
memeluk ayah suaminya itu dan mendudukkannya di bangku depan. Sebelum pintu
tertutup, orang tua itu masih sempat menoleh ke polisi lalu lintas itu.
|
6.
|
Koda
|
Dia
tersenyum. Mungkin dia teringat satu pengalaman waktu dia naik taksi bersama
keluarga. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas di perempatan jalan dari
arah taksi yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia coba uji ketaatan si
sopir. “Tidak ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut saja, Pak.” “Jangan.
Saya patuh pada peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan lebat itu.
Dia memberi hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di sebelah kiri
di depan kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.” “Jangan.
Tunggu hijau. Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk mengingatkan
para pengguna jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai polisi yang
sedang tidak mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang dikatakan sopir
taksi itu. “Ada satu lagi Polisi yang berisiko kalau kita tidak
mengindahkannya walau sebenarnya dia tidak terjaga. “Polisi apa itu?” “Polisi
Tidur.”
Lelaki
yang didatangi ayahnya itu ingin membawa ayahnya berjalan-jalan melihat-lihat
kota. Kali ini lelaki itu membawa langsung mobil mewahnya bersama istrinya
yang duduk di sampingnya. Dia puas bisa menyenang-nyenangkan ayahnya. Waktu
itu hujan lebat. Lampu lalu lintas tiba-tiba berwarna merah waktu mobil itu
sampai di perempatan. Mobil dia hentikan. Setelah menunggu agak lama, si
istri berpaling ke kiri dan ke kanan, lalu berkata.
“Aman
Pa. Jalan saja.”
“Jangan.
Kita harus patuh pada peraturan lalu lintas. Coba lihat polisi itu. Dia
hormat kepada kita di bawah guyuran hujan lebat.”
“Di
sebelah mana? Aku tidak melihat ada polisi.”
“Sebelah
kiri di depan kita.”
“O,
itu. Itu kan patung.”
Orang
tua itu mendengar apa yang dibicarakan anak dan menantunya. Dia melihat ke
depan, ke arah yang dikatakan anak dan menantunya. Tampak olehnya Polisi Patung
di bawah guyuran hujan lebat dalam posisi memberi hormat kepada mereka. Mobil
pun berjalan karena lampu telah hijau. Dari jendela orang tua itu melihat ke
luar. Dia perhatikan patung polisi itu dalam guyuran hujan. Dia iba melihat
Polisi Patung itu. Dia tiba-tiba tersentak.
“Ya
Allah. Polisi itu…, menjadi batu….”
|
0 komentar:
Posting Komentar
Jika ada yang kurang jelas atau terjadi kesalahan dalam artikel di atas, tolong beri tahu kami dengan berkomentar. Mohon berkomentar dengan santun dan mengedepankan akhlak mulia. Terima Kasih.