Menelusuri Gugatan Hamka
melalui Karyanya
Bahasa bisa diartikan sekadar simbol untuk
mengungkapkan bentuk bendawi semata. Namun, kadang, bahasa bisa hadir dalam
bentuk dan fungsi lain. Bambang Sugiharto, guru besar estetika, pernah
menyampaikan bahwa bahasa membawa banyak kemungkinan. Bahasa bisa menjadi kuda
tunggangan dengan aneka muatan, mata bor yang bisa menembus celah tersembunyi,
atau bahkan cermin yang bisa menangkap aneka fenomena.
Bahasa menjadi bagian penting dalam sebuah karya
sastra serta alat utama dalam menyampaikan maksud penulis. Hal demikian yang
sepertinya menjadi kesadaran setiap penulis, termasuk Prof. DR. H. Abdul Malik
Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka. Seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia
ini menuangkan aneka buah pemikirannya melalui banyak karya sastra.
Sebagai seorang ulama, Hamka mempergunakan tulisannya
sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai agama dengan begitu halus dan
tidak terkesan sedang berdiri di mimbar dakwah. Melalui karyanya yang awalnya
berupa cerita bersambung dan kemudian dinovelkan, Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
seorang ulama kharismatik asal tanah minang inijuga berusaha menyampaikan
kritik sosialnya terhadap tradisi yang telah mengakar kuat di kehidupan
masyarakat.
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
seperti kebanyakan Novel Melayu lainnya berkisah tentang romansa percintaan
berlatar budaya lokal. Kisah yang berlatar
peristiwa 1930-an tersebut menceritakan seorang tokoh bernama Zainuddin
yang berdarah Bugis-Minang menaruh hati pada seorang gadis jelita bernama
Hayati, namun kuatnya adat istiadat tanah Minang menjadi aral yang menyebabkan
Zainuddin harus merelakan Hayati dipersunting lelaki lain yang memiliki strata
sosial sepadan menurut adat setempat. Zainuddin hanyalah lelaki berdarah Minang
dari garis keturunan ibunya dan Bugis dari keturunan ayahnya, sedang dalam
tradisi adat Minang sistem nasab dari jalur ibu tidak diakui, sehingga ia
dipandang tidak memiliki strata sosial
yang selayaknya dalam masyarakat Minangkabau. Arus kuat tradisi dan adat yang
menghalangi keinginan Zainuddin akhirnya menjadi titik balik kehidupan dalam
cerita ini.
Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya,
struktur sosial masih sangat dipengaruhi oleh sistem adat istiadat, umumnya
adat istiadat yang dijadikan patokan bukan sebagai tembok sosial yang membatasi
relasi antar kelompok masyarakat, melainkan untuk menjaga nilai-nilai dalam masyarakat
adat. Aturan-aturan adat yang sangat ketat umumnya berlaku dalam hal
pernikahan, karena menyangkut silsilah keturunan yang akan mempengaruhi
struktur sosial masyarakat, sehingga adat bertujuan memproteksi adanya
pergeseran tatanan nilai dalam masyarakat. Berbeda dalam kasus Zainuddin, adat
justru digunakan sebagai alat untuk meneguhkan paradigma materialistik, dimana
stratifikasi sosial dipandang melalui kacamata harta dan strata kebangsawanan,
bukanlagi pada hal yang lebih subtansi, yakni pada keteguhan, visi hidup, sikap
beragama dan moralitas. Bagaimanapun tak ada adat istiadat yang bertujuan
merendahkan martabat kemanusiaan, oleh sebabnya ia dibuat sebagai sebuah
tatanan nilai yang akan menciptakan sikap saling menghargai, melindungi, dan
memanusiakan. Seringkali adat berusaha dibenturkan dengan keyakinan agama,
padahal keduanya bisa berjalan harmonis jika kita melihatnya sebagai sebuah
suprastuktur sosial yang akan menjadi sumber spirit, moralitas serta laku hidup
dalam sebuah tatanan masyarakat.
Masyarakat Minang dikenal sebagai masyarakat
yang taat pada ajaran agama Islam, sehingga arus Islamisasi tidak serta merta
menggusur tradisi yang telah berabad-abad dipelihara oleh masyarakat, justru
Islam begitu ramah dengan lokalitas tradisi dan budaya masyarakat setempat,
sehingga ajaran Islam justru semakin memperkuat adat istiadat masyarakat dan
sebaliknya tradisi masyarakat semakin menegaskan Islam sebagai agama rahmatan
lil alamin. Agama dan adat tersebut berkolaborasi untuk menciptakan sebuah
masyarakat yang humanis yang jauh dari sifat-sifat individualis dan
materialistis.
Berbeda dengan kisah roman pada umumnya yang
lebih menonjolkan kisah percintaan yang mengumbar asmara minim estetika,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tidak sekedar menceritakan tentang pertautan
hati dua insan yang sedang dilanda cinta, tetapi juga tentang bagaimana sikap
menghadapi kondisi yang tak berpihak, dimana keinginan hati harus diurungkan
atas nama adat, sekaligus berusaha mencibir mereka yang seringkali menggunakan
dalih adat dan agama untuk kepentingan-kepentingan materi.
Kasus yang menimpa Zainuddin masih seringkali
dijumpai dalam masyarakat kita, strata sosial seringkali diukur dari harta dan
jabatan, si miskin dan si kaya tak sepantasnya menjalin sebuah ikatan, akhir
cerita dari Nurhayati dan suaminya menjadi bukti bahwa kebahagiaan yang diukur
melalui perspektif materi tidak akan berumur lama.
Novel yang berhasil melambungkan nama
penulisnya ini berusaha mengajak pembacanya untuk sekuat Zaiuddin.Ditengah puing-puing
kehancuran hati, Zainuddin bangkit dengan dengan penuh keteguhan sambil
melanjutkan hidup dengan semangat untuk berkarya dan berbagi kepada sesama di
sela-sela kesuksesan yang akhirnya berhasil ia raih. Itu karena darah
Bugis-Minang masih mengalir dalam tubuhnya, sehingga ia senantiasa menegakkan
nilai-nilai yang diwarisi kedua orang tuanya, apalagi ajaran Islam adalah ruh
yang menggerakkan kesadarannya untuk tidak berputus asa. Inilah jejak kehidupan
seorang manusia yang tak pernah lepas dari organ spiritual, kultural dan
sosialnya.
Novel ini mengembangkan jiwa, menjadikan
pembaca merasa berada langsung pada periode dan tempat yang ada dalam novel.
Buya Hamka membawa pembaca pada periode saat Indonesia masih berada dalam dunia
penjajahan. Dibalut dengan kisah cinta suci yang mengharukan dan membuat jiwa
bergejolak, Buya Hamka menggambarkan Negeri Padang dengan begitu indah dan
menawan. Yang paling diminati dari buku ini adalah cara penyampaian Hamka pada
saat itu yang dinilai tidak terlalu kaku namun tetap detail dan romatis ala
tahun 1930an. Penyampaian kata romantis disini terlihat dalam surat-surat yang
dikirim oleh Zainuddin kepada Hayati, begitu juga sebaliknya.
Setelah mendapat sambutan yang hangat itu,
Hamka memutuskan untuk menerbitkan Van der Wijck sebagai novel dengan usaha
penerbitan milik temannya, M. Syarkawi; dengan menggunakan penerbit swasta
Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlaku di Balai Pustaka. Cetakan
kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun
1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh
Penerbit Nusantara di Jakarta; hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih
dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan
Bintang.[9][10] Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di Malaysia beberapa
kali.[6]
Van der Wijck pertama kali diterbitkan
sebagai cerita bersambung dalam majalah Islam mingguan Hamka di Medan, Pedoman
Masjarakat pada tahun 1938. Setelah mendapat sambutan yang hangat dari
pembacanya, karya legendaris Hamka akhirnya diterbitkan sebagai sebuah novel
pada tahun 1939 oleh usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi. Cetakan
kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun
1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh
Penerbit Nusantara di Jakarta; hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih
dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan
Bintang. Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.Novel
ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu sejak tahun 1963.
Kultur budaya melayu yang menjadi roh dari
karya sastra ini sangat berpengaruh besar terhadap berbagai aspek di dalam
proses pembuatannya. Banyak ditemukan istilah-istilah melayu yang mungkin tidak
dimengerti oleh pembaca yang buta dengan budaya melayu dan bahasanya.
Istilah-istilah tersebut seperti uang ditulis
wang, dan surat kabar juga disebut dengan Perkabaran. Hal ini sangat
disayangkan karena kualitas bahasa maupun ejaan tidak sebanding dengan
banyaknya jumlah buku yang dicetak. Hal kecil seperti ini memang tidak begitu
penting, tapi cukup mengganggu pembaca untuk memahami kata demi kata yang
menyusun alur cerita dari novel ini.
Terlepas dari kekurangan dan
kelemahannya, novel besutan Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck sangat
layak untuk diapresiasi. Kritik sosial yang begitu dalam mengenai tradisi yang
telah mengakar kuat patut dijadikan renungan agar di masa depan tidak ada lagi
sosok seperti Zainuddin dan Hayati lagi.
0 komentar:
Posting Komentar
Jika ada yang kurang jelas atau terjadi kesalahan dalam artikel di atas, tolong beri tahu kami dengan berkomentar. Mohon berkomentar dengan santun dan mengedepankan akhlak mulia. Terima Kasih.