Tampilkan postingan dengan label Tugas Bahasa Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tugas Bahasa Indonesia. Tampilkan semua postingan

Kritik Sastra Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Menelusuri Gugatan Hamka melalui Karyanya



Bahasa bisa diartikan sekadar simbol untuk mengungkapkan bentuk bendawi semata. Namun, kadang, bahasa bisa hadir dalam bentuk dan fungsi lain. Bambang Sugiharto, guru besar estetika, pernah menyampaikan bahwa bahasa membawa banyak kemungkinan. Bahasa bisa menjadi kuda tunggangan dengan aneka muatan, mata bor yang bisa menembus celah tersembunyi, atau bahkan cermin yang bisa menangkap aneka fenomena.
Bahasa menjadi bagian penting dalam sebuah karya sastra serta alat utama dalam menyampaikan maksud penulis. Hal demikian yang sepertinya menjadi kesadaran setiap penulis, termasuk Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka. Seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia ini menuangkan aneka buah pemikirannya melalui banyak karya sastra.
Sebagai seorang ulama, Hamka mempergunakan tulisannya sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai agama dengan begitu halus dan tidak terkesan sedang berdiri di mimbar dakwah. Melalui karyanya yang awalnya berupa cerita bersambung dan kemudian dinovelkan,  Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, seorang ulama kharismatik asal tanah minang inijuga berusaha menyampaikan kritik sosialnya terhadap tradisi yang telah mengakar kuat di kehidupan masyarakat.
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck seperti kebanyakan Novel Melayu lainnya berkisah tentang romansa percintaan berlatar budaya lokal. Kisah yang berlatar  peristiwa 1930-an tersebut menceritakan seorang tokoh bernama Zainuddin yang berdarah Bugis-Minang menaruh hati pada seorang gadis jelita bernama Hayati, namun kuatnya adat istiadat tanah Minang menjadi aral yang menyebabkan Zainuddin harus merelakan Hayati dipersunting lelaki lain yang memiliki strata sosial sepadan menurut adat setempat. Zainuddin hanyalah lelaki berdarah Minang dari garis keturunan ibunya dan Bugis dari keturunan ayahnya, sedang dalam tradisi adat Minang sistem nasab dari jalur ibu tidak diakui, sehingga ia dipandang tidak  memiliki strata sosial yang selayaknya dalam masyarakat Minangkabau. Arus kuat tradisi dan adat yang menghalangi keinginan Zainuddin akhirnya menjadi titik balik kehidupan dalam cerita ini.
Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, struktur sosial masih sangat dipengaruhi oleh sistem adat istiadat, umumnya adat istiadat yang dijadikan patokan bukan sebagai tembok sosial yang membatasi relasi antar kelompok masyarakat, melainkan untuk menjaga nilai-nilai dalam masyarakat adat. Aturan-aturan adat yang sangat ketat umumnya berlaku dalam hal pernikahan, karena menyangkut silsilah keturunan yang akan mempengaruhi struktur sosial masyarakat, sehingga adat bertujuan memproteksi adanya pergeseran tatanan nilai dalam masyarakat. Berbeda dalam kasus Zainuddin, adat justru digunakan sebagai alat untuk meneguhkan paradigma materialistik, dimana stratifikasi sosial dipandang melalui kacamata harta dan strata kebangsawanan, bukanlagi pada hal yang lebih subtansi, yakni pada keteguhan, visi hidup, sikap beragama dan moralitas. Bagaimanapun tak ada adat istiadat yang bertujuan merendahkan martabat kemanusiaan, oleh sebabnya ia dibuat sebagai sebuah tatanan nilai yang akan menciptakan sikap saling menghargai, melindungi, dan memanusiakan. Seringkali adat berusaha dibenturkan dengan keyakinan agama, padahal keduanya bisa berjalan harmonis jika kita melihatnya sebagai sebuah suprastuktur sosial yang akan menjadi sumber spirit, moralitas serta laku hidup dalam sebuah tatanan masyarakat.
Masyarakat Minang dikenal sebagai masyarakat yang taat pada ajaran agama Islam, sehingga arus Islamisasi tidak serta merta menggusur tradisi yang telah berabad-abad dipelihara oleh masyarakat, justru Islam begitu ramah dengan lokalitas tradisi dan budaya masyarakat setempat, sehingga ajaran Islam justru semakin memperkuat adat istiadat masyarakat dan sebaliknya tradisi masyarakat semakin menegaskan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Agama dan adat tersebut berkolaborasi untuk menciptakan sebuah masyarakat yang humanis yang jauh dari sifat-sifat individualis dan materialistis.
Berbeda dengan kisah roman pada umumnya yang lebih menonjolkan kisah percintaan yang mengumbar asmara minim estetika, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tidak sekedar menceritakan tentang pertautan hati dua insan yang sedang dilanda cinta, tetapi juga tentang bagaimana sikap menghadapi kondisi yang tak berpihak, dimana keinginan hati harus diurungkan atas nama adat, sekaligus berusaha mencibir mereka yang seringkali menggunakan dalih adat dan agama untuk kepentingan-kepentingan materi.
Kasus yang menimpa Zainuddin masih seringkali dijumpai dalam masyarakat kita, strata sosial seringkali diukur dari harta dan jabatan, si miskin dan si kaya tak sepantasnya menjalin sebuah ikatan, akhir cerita dari Nurhayati dan suaminya menjadi bukti bahwa kebahagiaan yang diukur melalui perspektif materi tidak akan berumur lama.
Novel yang berhasil melambungkan nama penulisnya ini berusaha mengajak pembacanya untuk sekuat Zaiuddin.Ditengah puing-puing kehancuran hati, Zainuddin bangkit dengan dengan penuh keteguhan sambil melanjutkan hidup dengan semangat untuk berkarya dan berbagi kepada sesama di sela-sela kesuksesan yang akhirnya berhasil ia raih. Itu karena darah Bugis-Minang masih mengalir dalam tubuhnya, sehingga ia senantiasa menegakkan nilai-nilai yang diwarisi kedua orang tuanya, apalagi ajaran Islam adalah ruh yang menggerakkan kesadarannya untuk tidak berputus asa. Inilah jejak kehidupan seorang manusia yang tak pernah lepas dari organ spiritual, kultural dan sosialnya.
Novel ini mengembangkan jiwa, menjadikan pembaca merasa berada langsung pada periode dan tempat yang ada dalam novel. Buya Hamka membawa pembaca pada periode saat Indonesia masih berada dalam dunia penjajahan. Dibalut dengan kisah cinta suci yang mengharukan dan membuat jiwa bergejolak, Buya Hamka menggambarkan Negeri Padang dengan begitu indah dan menawan. Yang paling diminati dari buku ini adalah cara penyampaian Hamka pada saat itu yang dinilai tidak terlalu kaku namun tetap detail dan romatis ala tahun 1930an. Penyampaian kata romantis disini terlihat dalam surat-surat yang dikirim oleh Zainuddin kepada Hayati, begitu juga sebaliknya.
Setelah mendapat sambutan yang hangat itu, Hamka memutuskan untuk menerbitkan Van der Wijck sebagai novel dengan usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi; dengan menggunakan penerbit swasta Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlaku di Balai Pustaka. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Jakarta; hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang.[9][10] Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.[6]
Van der Wijck pertama kali diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam majalah Islam mingguan Hamka di Medan, Pedoman Masjarakat pada tahun 1938. Setelah mendapat sambutan yang hangat dari pembacanya, karya legendaris Hamka akhirnya diterbitkan sebagai sebuah novel pada tahun 1939 oleh usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Jakarta; hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang. Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu sejak tahun 1963.
Kultur budaya melayu yang menjadi roh dari karya sastra ini sangat berpengaruh besar terhadap berbagai aspek di dalam proses pembuatannya. Banyak ditemukan istilah-istilah melayu yang mungkin tidak dimengerti oleh pembaca yang buta dengan budaya melayu dan bahasanya. Istilah-istilah tersebut seperti uang ditulis wang, dan surat kabar juga disebut dengan Perkabaran. Hal ini sangat disayangkan karena kualitas bahasa maupun ejaan tidak sebanding dengan banyaknya jumlah buku yang dicetak. Hal kecil seperti ini memang tidak begitu penting, tapi cukup mengganggu pembaca untuk memahami kata demi kata yang menyusun alur cerita dari novel ini.
Terlepas dari kekurangan dan kelemahannya, novel besutan Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck sangat layak untuk diapresiasi. Kritik sosial yang begitu dalam mengenai tradisi yang telah mengakar kuat patut dijadikan renungan agar di masa depan tidak ada lagi sosok seperti Zainuddin dan Hayati lagi.



Artikel Membandingkan Teks Eksposisi, Prosedur Kompleks, Laporan Hasil Obervasi, dan Eksplanasi

Kenali Lebih Jauh Berbagai Jenis Teks


Ketika menggeluti dunia tulis menulis, pasti tak kan terlepas dengan sesuatu yang bernama teks. Ya, teks, suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Ditinjau dari fungsinya yang sangat penting yaitu untuk menyampaikan pesan tertentu, tak heran jika dewasa ini sebagian besar lapisan masyarakat sudah tak asing lagi dengan berbagai jenis teks, termasuk dunia pendidikan Indonesia. Dalam dunia pendidikan Indonesia, banyak sekali jenis teks yang harus dipelajari seperti teks eksposisi, eksplanasi, laporan hasil observasi, dan prosedur kompleks. Dengan beragamnya jenis teks tersebut, semakin menuntut siswa untuk lebih memahami ciri-ciri, fungsi, dan penggunaan berbagai jenis teks yang telah beredar.
     
      Teks Eksposisi
Teks eksposisi merupakan suatu teks yang berisi  tesis mengenai suatu hal yang disertai argumen-argumen untuk menegaskan atau memperkuat pendapat tersebut. Tujuan dari teks ini ialah untuk memaparkan dan menjelaskan sesuatu agar pengetahuan pembaca bertambah. Meskipun di dalam teks eksposisi terdapat pendapat dari penulis, perlu di garis bawahi jika di dalam teks eksposisi tidak mengandung unsur subjektivitas. Karena semua pendapat penulis disertai dengan argumen-argumen yang berdasar atau memiliki fakta yang kuat untuk mempertegas pendapat terebut.
Ciri-ciri teks eksposisi yang membedakannya dari teks lain ialah
1.      Teks eksposisi menjelaskan suatu informasi
2.      Teks eksposisi menggunakan gaya informasi yang persuasif atau mengajak
3.      Teks eksposisi harus memberikan penyampaian seara lugas dan mengeluarkan bahasa yang baku
4.      Teks eksposisi tidak melakukan pemihakan, artinya penulis tidak memaksakan kehendaknya ke pembaca
5.      Teks eksposisi berisikan fakta untuk memperkuat tesis penulis
Teks eksposisi memiliki struktur yang terdiri dari tesis, argumentasi, dan penegasan ulang pendapat. Tesis berisi tentang sudut pandang dari penulis terhadap permasalahan yang diangkat. Biasanya tesis disampaikan seorang penulis dalam bentuk pernyataan atau teori yang terletak di awal teks.
Struktur kedua dari teks eksposisi ialah argumentasi. Fungsi dari argumentasi ini adalah untuk memperkuat atau mempertegas tesis yang telah disampaikan penulis di awak. Argumentasi bisa berupa pernyataan umum yang berisikan data hasil penelitian atau pernyataan dari orang-orang yang ahli di bidangnya atau bisa juga berdasarkan fakta dai berbagai media yang bisa dipercaya.
Struktur terakhir dari teks eksposisi ialah penegasan ulang pendapat. Bagian penegasan ulang pendapat biasanya berisi simpulan dari argumen-argumen penulis. Seperti namanya, bagian terakhir dari teks ekposisi ini berfungsi untuk menegaskan kembali pendapat penulis yang telas disampaikan di awal.

      Teks Prosedur Kompleks
Jenis teks lain yang tak kalah populernya dengan teks eksposisi yaitu teks prosedur kompleks. Jenis teks yang satu ini sangat mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dari namanya bisa kita ketahui jika teks prosedur kompleks ialah teks yang berisi langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu. Teks ini memiliki fungsi sosial untuk menjelaskan bagaimana sesuatu tersebut bisa dilakukan dengan langkah-langkah yang urut.
Ciri-ciri teks prosedur kompleks ialah berisikan langkah-langkah, disusun secara informatif, dijelaskan secara mendetail, bersifat objektif, menggunakan syarat/pilihan, bersifat universal, bersifat aktual dan akurat, serta bersifat logis.
Teks prosedur kompleks terdiri dari tiga bagian yaitu tujuan, material, dan bagian yang berisikan langkah-langkah. Struktur yang pertama ialah tujuan. Bagian tujuan berisi tujuan dari pembuatan teks prosedur tersebut atau hasil akhir yang akan dicapai. Biasanya bagian tujuan ini bisa kita jumpai pada judul sebuah teks prosedur kompleks.
Struktur selanjutnya yaitu bagian material. Bagian meterial berisi informasi tentang alat atau bahan yang dibutuhkan. Bagian material ini bersifat opsional, boleh ada atau boleh tidak. Bagian material ini sering kali kita temui dalam teks proedur kompleks yang terdapat dalam resep makanan.
Struktur yang terakhir yaitu bagian langkah-langkah. Bagian ini berisikan prosedur yang harus diikuti oleh pembaca tujuan dari teks ini bisa tercapai. Biasanya dalam mengikuti langkah-langkah dalam teks prosedur kompleks, urutan dalam langkah-langkahnya tidak bisa dibolak-balik atau kita harus mengikuti langkah-langkahnya secara runtut.

      Teks Eksplanasi
Teks ekplanasi adalah sebuah teks yang berisi penjelasan – penjelasan lengkap mengenai suatu topik yang berhubungan dengan fenomena – fenomena alam maupun sosial yang terjadi di kehidupan sehari – hari. Tujuan dari teks eksplanasi ialah untuk memberikan informasi sejelas – jelasnya kepada pembaca agar paham atau mengerti tentang suatu fenomena yang terjadi.
Ciri-ciri teks eksplanasi yang membedakan teks ini dengan teks yang lain ialah teks ini memuat informasi – informasi berdasarkan fakta, membahas suatu fenomena yang bersifat keilmuan atau ilmu pengetahuan, bersifat informatif, dan tidak berusaha mempengaruhi pembaca untuk mempercayai hal yang dibahas di dalam teks.
Teks eksplanasi memiliki sturktur  yang terdiri dari pernyataan umum, penjelas, serta penutup. Struktur pertama dari teks eksplanasi ialah pernyataan umum. Bagian pernyataan umum ialah bagian pertama dari teks eksplanasi. Bagian ini menyampaikan topik atau permasalahan yang akan di bahas pada teks ekplanasi yang berupa gambaran umum mengenai apa dan mengapa suatu fenomena tersebut bisa terjadi.
Struktur berikutnya ialah bagian penjelas. Bagian penjelas adalah bagian  mengandung penjelasan – penjelasan mengenai sebuah topik yang akan dibahas secara lebih mendalam.
Struktur terakhir dari teks eksplanasi ialah penutup. Bagian penutup merupakan bagian yang mengandung intisari atau kesimpulan dari fenomena yang telah dibahas. Di dalam bagian ini juga bisa ditambahkan saran atau tanggapan penulis mengenai fenomena tersebut.

      Teks Laporan Hasil Observasi
Jika kita melakukan suatu pengamatan dan ingin melaporkannya ke khalayak umum, pasti kita akan membutuhkan jenis teks ini, teks laporan hasil observasi. Seperti namanya teks laporan hasil observasi ialah teks yang melaporkan hasil dari kegiatan observasi atau pengamatan yang telah dilakukan.
Ciri-ciri teks laporan hasil observasi adalah teks ini menyajikan informasi. Hal yang perlu diperhatikan adalah semua informasi yang disajikan dalam teks laporan hasil observasi sifatnya faktual atau berdasarkan kenyataan (fakta) yang berasal dari pengamatan sehingga tidak ada unsur mengada-ngada. Fakta yang ada di dalam teks biasanya disajikan dalam bentuk gambar, bagan, tabel dan grafik. Dalam menyampaikan informasi kepada pembaca, penulis menggunakan bahasa yang baku dan lugas.
Teks laporan hasil observasi terdiri dari tiga bagian yaitu definisi umum, deskripsi bagian, dan deskripsi manfaat. Bagian pertama dari teks laporan hasil observasi ialah definisi umum. Bagian definisi umum merupakan bagian yang berisi pengertian atau konsep dasar dari apa yang diobservasi atau berisikan topik yang diangkat.
Struktur selanjutnya yaitu bagian deskripsi. Struktur yang satu ini berisi pengertian yang lebih jelas tentang konsep dari topik yang dilaporkan.
Struktur yang terakhir yaitu deskripsi manfaat. Struktur deskripsi manfaat berisi tentang manfaat dari objek observasi atau manfaat apa yang bisa diambil dari proses observasi yang telah dilakukan.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diambil suatu kesimpulan jika teks eksposisi, eksplanasi, laporan hasil observasi, dan prosedur kompleks memiliki ciri yang sama yaitu bertujuan menambah wawasan pembaca. Seperti yang kita ketahui, dalam membangun sebuah teks, kita tidak akan pernah terpaku pada satu jenis teks saja, tapi kita akan terpengaruh pada teks yang lainnya. Karena pada dasarnya semua teks yang disebutkan di atas saling berkaitan satu sama lain.

PERBANDINGAN CERPEN PAING, SULAIMAN PERGI KE TANJUNG CINA, DAN BANUN



MEMBANDINGKAN CERPEN




Persamaan di antara 3 cerpen di atas, yaitu:
1.      Tema ketiga cerpen di atas adalah kehidupan.
a.       Cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina mengisahkan tentang kehidupan tokoh utamanya yaitu Zhu dan Sulaiman. Zhu adalah anak dari saudagar pencari sarang walet dari Kalimantan Timur yang merantau ke kota berteluk hangat di Selat Sunda untuk mencari sarang walet. Zhu akhirnya menjadi pembinis sarang walet yang sukses. Sulaiman adalah seorang petani ilegal yang semasa hidupnya mempertahankan ladang kopi dari pemerintah yang dipaksa pergi meninggalkan lahan yang bertahun-tahun digarap dengan tuduhan melakukan pembunuhan gajah. Karena merasa dirinya dan ibunya terancam, sulaiman meminta perlindungan kepada Zhu. Karena teringat akan jasa ayahnya yang menolong orang, Zhu akhirnya menolong sulaiman agar tinggal di rumahnya. Selama tinggal di rumah Zhu, benih-benih cinta pun mulai terjadi sehingga mereka menikah. Tersiar berita kalau pemberontakan petani kopi mulai menyebar dan pemerintah tidak tinggal diam sehingga rumah Zhu diserang dan sulaiman digelandang paksa untuk meninggalkan Zhu.
b.      Cerpen paing mengisahkan kehidupan Paing yang merantau di Jakarta.
Tiba di  Jakarta Paing bekerja di bengkel mebel. Majikannya sangat senang dengan kejujurannya dan mengajarinya menabung di bank. Setelah 2 tahun ia sudah membawa anak dan istrinya ke jakarta. Istrinya bekerja di  rumah majikannya sebagai tukang cuci. Paing memutuskan untuk berhenti dan hidup  mandiri. Ia berdagang buah di pasar tapi suatu hari ia terkena penertiban jalan. Ia tidak putus asa dan kemudia berjualan nasi uduk di dekat rumah Juragan Bajaj. Saat istrinya melahirkan, Paing menitipkan warungnya pada temannya. Tapi ternyata ia dikhianati karena saat ia kembali warungnya sudah berubah. Paing memikirkan bagaimana nasib keluarganya. Lalu istrinya pergi ke rumah Tante untuk meminta bantuan dan Paing pun bekerja sebagai tukang kebun di jakarta Selatan. Istrinya mendengar bahwa gajinya lumayan besar tapi Paing harus menetap di rumah majikannya. Kurang dari dua minggu kebunnya sudah indah, Paing lebih dipercaya oleh Tuannya. Suatu hari, Tuannya menyuruh Paing mengambil uang di Bank. Ia terpana melihat uang yang ia pegang. Setelah akhir bulan, ia menerima gajinya. Tapi, gajinya tidak sebesar yang ia harapkan. Paing memutuskan berhenti bekerja dan ingin kembali berjualan di Pasar.
c.       Cerpen Banun mengisahkan seseorang yang bernama Banun. Banun adalah seorang yang kikir kata palar. Akan tetapi banun adalah wanita yang kuat dan mandiri. Anak-anaknya dapat dihidupkannya dan disekolahkannya ke perguruan tinggi. Banun mengajarkan anaknya untuk hidup mandiri dan menelaah kata tani yang dijelaskannya adalah tahani. Banun mengajarkan ke semua anaknya untuk menahan dalam segalanya. Dari sepetak tanah yang dia punya, sekarang hampir seluruh sawah yang ad di kampungnya itu miliknya.

2.      Struktur ketiga cerpen di atas sama
a.       Struktur cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina terdiri dari Abstrak, Orientasi, Komplikasi, Evaluasi, Resolusi, dan Koda.
b.      Struktur cerpen Paing, terdiri dari Abstrak, Orientasi, Komplikasi, Evaluasi, Resolusi, dan Koda.
c.       Struktur cerpen Banun, terdiri dari Abstrak, Orientasi, Komplikasi, Evaluasi, Resolusi, dan Koda.


3.      Menggunakan Majas Hiperbola (Majas yang melebih-lebihkan)
a.       Cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
Pembuktian : Siapa nyana, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan Nyiwar, telah membuat batin Zhu tercabir parah dan gila.
b.      Cerpen Paing
Pembuktian : Hati kecil Paing teraduk aduk setelah tau bahwa gajinya tidak seperti yang ia bayangkan.
c.       Cerpen Banun
Pembuktian : Kuping anak gadi Banun itu panas karena gunjingan perihal Banun Kikir tiada kunjung reda.

Perbedaan ketiga cerpen di atas, antara lain :
1.      Amanat
a.       Cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
Amanantnya yaitu ikhlaskanlah orang yang sudah meninggal dan bantulah orang yang sedang dalam kesulitan
b.      Cerpen Paing
Amanatnya yaitu Jangan mudah putus asa dalam melaukan segala hal dan jujurlah dalam bertindak.
c.       Cerpen Banun
Amanatnya yaitu berusaha menerima kritik dari orang lain, jangan menyimpan dendam, dan jangan melakukan perjodohan karena melihat harta dan pangkatnya saja.
2.      Alur
a.       Cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
Alurnya yaitu maju mundur atau campuran. Hal ini dibuktikan dengan pengarang menceritakan Zhu yang merindukan suaminya yang telah meninggal dan menceritakan bagaimana Zhu bertemu dengan suaminya hingga suaminya meninggal.
b.      Cerpen Paing
Alur dari Cerpen Paing yaitu maju. Hal ini ditunjukkan dengan pengarang menceritakan Paing yang tiba di Jakarta hingga ia bekerja menjadi tukang kebun di rumah seorang pragawati.
c.       Cerpen Banun
Alur dari Cerpen Banun yaitu Maju mundur. Hal ini ditunjukkan oleh pengarang menceritakan kehidupan banun di kampungnya dan menceritakan mengapa Banun mendapatkan gelar kikir.
3.      Sudut pandang
a.       Cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
Sudut pandang      : Orang ketiga serba tahu dan orang pertama pelaku pertama
Pembuktia             :
Orang ketiga serba tahu : Siapa nyana, bahwa delapan bela helai kain tapi buatan tangan Nyiwar, telah membuat batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita. Ia tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akan menyimpan getaran dahsyat yang langsnung menusuk pada jiwanya yang paling dalam.

Orang pertama pelaku utama : Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam.

Penjelasan             : Dalam cerita tersebut pengarang menceritakan tokoh utama “ia”, dikisahkan dari sudut “ia”. Pengarang sama sekali tidak memasukkan dirinya sebagai tokoh dalam cerita yang dibuatnya. Di dalam cerpen tersebut ia tidak hanya menceritakan satu tokoh saja, ia menceritakan banyak tokoh termasuk apa yang tokoh itu rasakan dan lakukan. Dan di dalma cerpen tersebut terdapat kata akulah yang menunjukkan bahwa sudut pandang yang lain adalah orang pertama pelaku utama
b.      Cerpen Paing
Sudut Pandang     : Orang ketiga serba tahu
Pembuktian           : Seumur hidupnya belum pernah Paing masuk rumah sebesar itu. Seluruhnya clikelilingi tembok tinggi.
Penjelasan             : Dalam cerita tersebut pengarang menceritakan tokoh utama “ia”, dikisahkan dari sudut “ia”. Pengarang sama sekali tidak memasukkan dirinya sebagai tokoh dalam cerita yang dibuatnya. Di dalam cerpen tersebut ia tidak hanya menceritakan satu tokoh saja, ia menceritakan banyak tokoh termasuk apa yang tokoh itu rasakan dan lakukan.
c.       Cerpen Banun
Sudut pandang : Orang ketiga serba tahu
Pembuktian : Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi dapur keluarganya.

Penjelasan             : Dalam cerita tersebut pengarang menceritakan tokoh utama “ia”, dikisahkan dari sudut “ia”. Pengarang sama sekali tidak memasukkan dirinya sebagai tokoh dalam cerita yang dibuatnya. Di dalam cerpen tersebut ia tidak hanya menceritakan satu tokoh saja, ia menceritakan banyak tokoh termasuk apa yang tokoh itu rasakan dan lakukan.

ANALISIS CERPEN MBOK JAH KARYA UMAR KAYAM



MBOK JAH
Cerpen : Umar Kayam



No.
STRUKTUR TEKS
KALIMAT DALAM TEKS
1.       
Abstrak

Sudah dua tahun, baik pada Lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak “turun gunung” keluar dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke rumah bekas majikannya, keluarga Mulyono, di kota. Meski pun sudah berhenti karena usia tua dan capek menjadi pembantu rumah, Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan seluruh anggota keluarga itu. Dua puluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saja kondisi ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup saja, tetapi perlakuan yang baik dan penuh tepa slira dari seluruh keluarga itu telah memberinya rasa aman, tenang dan tentram.
Alasan : karena bagian tersebut merupakan ringkasan atu inti dari cerita
2.       
Orientasi
Buat seorang janda yang sudah selalu tua itu, apalah yang dikehendaki selain atap untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagi pula anak tunggalnya yang tinggal di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan tidak mau lagi berhubungan dengannya. Tarikan dan pelukan istri dan anak-anaknya rupanya begitu erat melengket hingga mampu melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa, hiburnya.
Alasan : karena bagian ini dari pengenalan dari seorang janda yang tak lain adalah “Mbok Jah”.
3.       
Komplikasi
Di rumah keluarga Mulyono ini dia merasa mendapat semuanya. Tetapi waktu dia mulai merasa semakin renta, tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu. Dia merasa menjadi buruh tumpangan gratis. Dan harga dirinya memberontak terhadap keadaan itu. Diputuskannya untuk pulang saja ke desanya. Dia masih memiliki warisan sebuah rumah desa yang meskipun sudah tua dan tidak terpelihara akan dapat dijadikannya tempat tinggal di hari tua. Dan juga tegalan barang sepetak dua petak masih ada juga. Pasti semua itu dapat diaturnya dengan anak jauhnya di desa. Pasti mereka semua dengan senang hati akan menolongnya mempersiapkan semuanya itu. Orang desa semua tulus hatisnya. Tidak seperti kebanyakan orang kota, pikirnya. Sedikit-sedikit duit, putusnya.
Maka dikemukakannya ini kepada majikannya. Majikannya beserta seluruh anggota keluarganya, yang hanya terdiri dari suami istri dan dua orang anak, protes keras dengan keputusan Mbok Jah. Mbok Jah sudah menjadi bagian yang nyata dan hidup sekali dari rumah tangga ini, kata ndoro putri. Dan siapa yang akan mendampingin si Kedono dan si Kedini yang sudah beranjak dewasa, desah ndoro kakung. Wah, sepi lho mbok kalau tidak ada kamu. Lagi, siapa yang dapat bikin sambel trasi yang begitu sedap dan mlekok selain kamu, mbok, tukas Kedini dan Kedono.
Pokoknya keluarga majikan tidak mau ditinggalkan oleh mbok Jah. Tetapi keputusan mbok Jah sudah mantap. Tidak mau menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya. Hingga jauh malam mereka tawar-menawar. Akhirnya diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan “turun gunung” dua kali dalam setahun yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri.

Mereka lantas setuju dengan jalan tengah itu. Mbok Jah menepati janjinya. Waktu Sekaten dan Idul Fitri dia memang datang. Seluruh keluarga Mulyono senang belaka setiap kali dia datang. Bahkan Kedono dan Kedini selalu rela ikut menemaninya duduk menglesot di halaman masjid kraton untuk mendengarkan suara gamelan Sekaten yang hanya berbunyi tang-tung-tang-tung-grombyang itu. Malah lama kelamaan mereka bisa ikut larut dan menikmati suasana Sekaten di masjid itu.
“Kok suaranya aneh ya, mbok. Tidak seperti gamelan kelenangan biasanya.”
“Ya, tidak Gus, Dan Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng Nabi Mohamad.”
“Lha, Kanjeng Nabi apa tidak mengantuk mendengarkan ini, mbok.”
“Lha, ya tidak. Kalau mau mendengarkan dengan nikmat pejamkan mata kalian.” Nanti rak kalian akan bisa masuk.”
Mereka menurut. Dan betul saja, lama-lama suara gamelan Sekaten itu enak juga didengar.
Selain Sekaten dan Idul Fitri itu peristiwa menyenangkan karena kedatangan mbok Jah, sudah tentu juga oleh-oleh mbok Jah dari desa. Terutama juadah yang halus, bersih dan gurih, dan kehebatan mbok Jah menyambal terasi yang tidak kunjung surut. Sambal itu ditaruhnya dalam satu stoples dan kalau habis, setiap hari dia masih akan juga menyambelnya. Belum lagi bila dia membantu menyiapkan hidangan lebaran yang lengkap. Orang tua renta itu masih kuat ikut menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan semuanya masih dikerjakannya dengan sempurna. Opor ayam, sambel goreng ati, lodeh, srundeng, dendeng ragi, ketupat, lontong, abon, bubuk kedela, bubuk udang, semua lengkap belaka disediakan oleh mbok Jah. Dari mana enerji itu datang pada tubuh orang tua itu tidak seorang pun dapat menduganya.
Setiap dia pulang ke desanya, mbok Jah selalu kesulitan untuk melepaskan dirinya dan pelukan Kedono dan Kedini. Anak kembar laki-perempuan itu, meski sudah mahasiswa selalu saja mendudukkan diri mereka pada embok tua itu. Ndoro putri dan ndoro kakung selalu tidak lupa menyisipkan uang sangu beberapa puluh ribu rupiah dan tidak pernah lupa wanti-wanti pesan untuk selalu kembali setiap Sekaten dan Idul Fitri.
“Inggih, ndoro-ndoro saya dan gus-den rara yang baik. Saya pasti akan datang.”
Tetapi begitulah. Sudah dua Sekaten dan dua Lebaran terakhir mbok Jah tidak muncul. Keluarga Mulyono bertanya-tanya jangan-jangan mbok Jah mulai sakit-sakitan atau jangan-jangan malah….
“Ayo, sehabis Lebaran kedua kita kunjungi mbok Jah ke desanya,” putus ndoro kakung.
“Apa bapak tahu desanya?”
“Ah, kira-kira ya tahu. Wong di Gunung Kidul saja, lho. Nanti kita tanya orang.”
Dan waktu untuk bertanya kesana kemari di daerah Tepus, Gunung Kidul, itu ternyata lama sekali. Pada waktu akhirnya desa mbok Jah itu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat jam dua siang. Perut Kedono dan Kedini sudah lapar meskipun sudah diganjal dengan roti sobek yang seharusnya sebagian untuk oleh-oleh mbok Jah.
Desa itu tidak lndah, nyaris buruk, dan ternyata juga tidak makmur dan subur. Mereka semakin terkejut lagi waktu menemukan rumah mbok Jah. Kecil, miring dan terbuat dan gedek dan kayu murahan. Tegalan yang selalu diceriterakan ditanami dengan palawija nyaris gundul tidak ada apa-apanya.
“Kula nuwun. Mbok Jah, mbok Jaah.”
Waktu akhirnya pintu dibuka mereka terkejut lagi melihat mbok Jah yang tua itu semakin tua lagi. Jalannya tergopoh tetapi juga tertatih-tatih menyambut bekas majikannya.
“Walah, walah, ndoro-ndoro saya yang baik, kok bersusah-susah mau datang ke desa saya yang buruk ini. Mangga, mangga, ndoro, silakan masuk dan duduk di dalam.”
Di dalam hanya ada satu meja, beberapa kursi yang sudah reyot dan sebuah amben yang agaknya adalah tempat tidur mbok Jah. Mereka disilakan duduk. Dan keluarga Mulyono masih ternganga-nganga melihat kenyataan rumah bekas pembantu mereka itu.
“Ndoro-ndoro, sugeng riyadi, nggih, minal aidin wal faifin. Semua dosa-dosa saya supaya diampuni, nggih, ndoro-ndoro, gus-den rara.”
“Iya, iya, mbok. Sama-sama saling memaafkan.”
“Lho, ini tadi pasti belum makan semua to? Tunggu, semua duduk yang enak, si mbok masakkan, nggih?”
“Jangan repot-repot, mbok. Kita tidak lapar, kok. Betul!”
“Aah, pasti lapar. Lagi ini sudah hampir asar. Saya masakkan nasi tiwul, nasi dicampur tepung gaplek, nggih.”
Alasan : karena pada bagian ini terdapat masalah yaitu kebingungan Mbok Jah antara ingin mengikuti keinginan majikannya atau tetap tinggal di desa.
4.       
Evaluasi
Tanpa menunggu pendapat ndoro-ndoronya mbok Jah langsung saja menyibukkan dirinya menyiapkan makanan. Kedono dan Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka kemudian menyaksikan bagaimana mbok Jah mereka yang di dapur mereka di kota dengan gesit menyiapkan makanan dengan kompor elpiji dengan nyala api yang mantap, di dapur desa itu, yang sesungguhnya juga di ruang dalam termpat mereka duduk, mereka menyaksikan si mbok dengan sudah payah meniup serabut-serabut kelapa yang agaknya tidak cukup kering mengeluarkan api. Akhirnya semua makanan itu siap juga dihidangkan di meja. Yang disebutkan sebagai semua makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus dan sambal cabe merah dengan garam saja. Air minum disediakan di kendi yang terbuat dari tanah. “Silakan ndoro, makan seadanya. Tiwul Gunung Kidul dan sambelnya mbok Jah tidak pakai terasi karena kehabisan terasi dan temannya cuma daun singkong yang direbus.”
Alasan : pada bagian ini Mbok Jah mulai menemukan solusi dari permasalahannya.
5.       
Resolusi
Mereka pun makan pelan-pelan. Mbok Jah yang di rumah mereka kadang-kadang masak spagetti atau sup makaroni di rumahnya hanya mampu masak tiwul dengan daun singkong rebus dan sambal tanpa terasi. Dan keadaan rumah itu? Ke mana saja uang tabungannya yang lumayan itu pergi? Bukankah dia dulu berani pulang ke desa karena yakin sanak saudaranya akan dapat menolong dan menampungnya dalam desa itu? Keluarga itu, seakan dibentuk oleh pertanyaan batin kolektif, membayangkan berbagai kemungkinan. Dan Mbok Jah seakan mengerti apa yang sedang dipikir dan dibayangkan oleh ndoro-ndoronya segera menjelaskan.
“Sanak saudara saya itu miskin semua kok, ndoro. Jadi uang sangu saya dan kota lama-lama ya habis buat bantu ini dan itu.”
“Lha, lebaran begini apa mereka tidak datang to, mbok?”
Mbok Jah tertawa. “Lha, yang dicari di sini itu apa lho, ndoro. Ketupat sama opor ayam?”
“Anakmu?”
Mbok Jah menggelengkan kepala tertawa kecut.
“Saya itu punya anak to, ndoro?”
Kedono dan Kedini tidak tahan lagi. Diletakkan piring mereka dan langsung memegang bahu embok mereka. “Kau ikut kami ke kota ya? Harus! Sekarang bersama kami!” Mbok Jah tersenyum tapi menggelengkan kepalanya.
“Si mbok tahu kalau anak-anakku akan menawarkan ini. Kalian anak-anakku yang baik. Tapi tidak, gus-den rara, rumah si mbok di hari tua ya di sini mi. Nanti Sekaten dan Lebaran akan datang saya pasti datang. Betul.”
Alasan : Mbok Jah sudah menemukan solusinya dengan tetap tinggal di desa.
6.       
Koda

Mereka pun tahu itu keputusan yang tidak bisa ditawar lagi. Lalu mereka pamit mau pulang. Tetapi hujan turun semakin deras dan rapat. Mbok Jah mengingatkan ndoro kakungnya kalau hujan begitu akan susah mengemudi. Jalan akan tidak kelihatan saking rapatnya air hujan turun. Di depan hanya akan kelihatan warna putih dan kelabu. Mereka pun lantas duduk berderet di amben di beranda memandang ke tegalan. Benar tegalan itu berwarna putih dan kelabu.
Alasan : pada bagian ini merupakan keputusan dan majikannya bisa memahami keinginan Mbok Jah.









ANALISIS CERPEN MACAN LAPAR KARYA : DANARTO




ANALISIS CERPEN MACAN LAPAR
KARYA : DANARTO

N0.
STUKTUR TEKS
KALIMAT DALAM TEKS
1.
Abstrak
Ketika saya membaca SMS dari sahabat saya William John dari California bahwa ia akan datang ke Solo untuk mencari Putri Solo yang gaya berjalannya seperti Macan Lapar, saya terbahak. Ketika ia melanjutkan SMS-nya bahwa jika ia tidak menemukan seorang Putri Solo yang Macan Lapar itu, dalam bahasa Jawa: Macan Luwe, berarti saya menyembunyikannya. Lagi-lagi saya terbahak.
Sebaliknya saya mengancam, jika ia main-main saja dengan Putri Solo, misalnya mengajaknya kumpul kebo, saya akan melaporkannya ke Presiden Obama. Ternyata John berani bersumpah bahwa ia serius akan menikahi Putri Solo yang Macan Lapar itu dan memboyongnya ke Amerika. Anak keturunannya kelak, janji John, merupakan masyarakat baru Amerika yang akan mendatangkan berkah. Saya menyambutnya dengan mengucap amin, amin, amin. Okey, jawab saya. Insya Allah, John, saya akan membantumu untuk menemukan Putri Solo si Macan Lapar itu.
2.
Orientasi
John adalah seorang arkeolog. Perkenalannya dengan dunia Timur ketika ia melancong ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memelototi candi-candi. Waktu itu ia masih berusia 23 tahun, sedang giat-giatnya menjaring ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Candi Borobudur sudah tentu, Prambanan, Mendut, Sukuh, Panataran, semuanya, sudah pindah ke benaknya. Tentu banyak lagi. Setelah John menjadi profesor di usia 25, ia sadar bahwa tak ada gunanya seorang profesor yang jomblo. Ia merasa sangat kesepian. John sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan sejumlah mahasiswinya. Tapi semuanya menolak untuk dinikahi, yang membuat John uring-uringan.
Menurut John, masa bahagia adalah ketika kuliah di Solo, ia menginap di rumah saya di bilangan Notosuman, bertetangga dengan kedai Srabi Notosuman yang termasyhur itu. Bagaimana ia tidak berbahagia, segalanya tersedia dengan gampang. Tidak seperti di Amerika yang segalanya harus ia lakukan sendiri, di Solo jika lapar bisa langsung makan, bila pengin ngopi tinggal pesan, bila pakaian kotor tinggal dilemparkan. Jika nonton pertunjukan, pergi kuliah, maupun piknik, cukup dengan naik sepeda.
3.
Komplikasi
Di universitasnya, UCLA, John berkenalan dengan Eko, seorang penari dari Solo yang sedang melakukan tur ke 30 universitas Amerika untuk menari. Eko menyarankan supaya John menikah dengan gadis Solo saja. Di samping gemi, nastiti, ngati-ati (irit, terperinci, berhati-hati), putri Solo gaya berjalannya persis macan lapar yang bisa membekukan waktu.
Tetapi, menurut Fafa Dyah Kusumaning Ayu, seorang DJ yang menjelma sejarawan yang mbaurekso (mengayomi) kota Solo, putri S5.olo yang gaya berjalannya persis macan lapar itu sudah tidak ada lagi. Menurut dia, dari satu artikel yang dibacanya, putri Solo yang demikian, yang terakhir terlihat di zaman penjajahan Jepang, yaitu di tahun 40-an. Mendengar ini, Eko dari Boston kirim SMS: Fafa, lo jangan bikin John pesimistis. Fafa pun menjawab: Eko, lo jangan mengada-ada.
Di bandara Adi Sumarmo, Solo, saya dan anak-anak, Ning, Nong, dan Nug, menjemput John yang datang lewat Bali. Di rumah, ibunya anak-anak menyiapkan nasi goreng ikan asin kesukaan John. Ia tinggal di rumah penginapan penduduk yang banyak bertebaran di kampung-kampung. Serta-merta ia diminta mengajar di ISI (Institut Seni Indonesia) untuk mata pelajaran arkeologi budaya.
Menurut Fafa, gaya berjalan Macan Lapar adalah gaya berjalan yang bertumpu pada pinggul dan pundak. Jika melangkah, sebagaimana orang berjalan, pinggul kanan berkelok muncul keluar dari garis tubuh, maka pundak kiri lunglai ke depan. Begitu bergantian, pinggul kiri mencuat, pundak kanan lunglai ke depan. Irama ini dalam paduan langkah yang pelan. Gaya berjalan begini akhirnya diadopsi oleh para art director fashion show menjadi gaya berjalan yang kita kenal sekarang oleh para peragawati di seluruh dunia di atas cat-walk. Megal-megol-nya para peragawati Eropa, Amerika, maupun Asia, menurut Fafa sangat teknis. Hal itu tampak ketika para peragawati sudah tidak di atas cat-walk lagi, mereka ternyata berjalan biasa saja, sebagaimana orang-orang biasa berjalan. Artinya, megal-megol mereka di atas cat-walk belum merupakan kekayaan budaya fashion show. Padahal macan laparnya putri Solo itu tulen, alamiah, menyatu dengan tubuh yang hidup dalam budaya tradisinya. Meski cuma berjalan di dalam rumahnya, gaya berjalan Putri Solo tetap persis macan lapar. Sehingga Putri Solo jauh lebih gandes, luwes, kewes, dan sensuous.
4.
Evaluasi
Pada suatu hari di siang yang panas, ketika saya dan Nug selesai jumatan di Masjid Gede, lalu bergabung dengan Ning, Nong, dan ibunya anak-anak untuk menikmati tengkleng, semacam sop tetelan daging sapi atau kambing khas Solo di gerbang Pasar Klewer, tiba-tiba menghambur John di sela kerumunan orang yang antre tengkleng, sambil berkata mantap:
”Saya sudah dapat si Macan Lapar.”
”Alhamdulillah,” sahut saya.
Lepas ashar di gerbang Keraton Susuhunan, sejumlah orang berkumpul: John, Fafa, mas Rahayu Supanggah (komponis), mas Modrik Sangidu (aktivis), Sadra (komponis), Slamet Gundono (dalang), Suprapto Suryodarmo (guru spiritual), dan pak Jokowi (wali kota Solo) sedang berharap-harap cemas sambil mencereng menatap jalanan. Kami semua diundang John untuk menerima kejutan.
5.
Resolusi
Mendadak muncul seorang gadis yang berpakaian lengkap mengesankan seorang penari. Kami terperangah melihat gaya jalannya yang Macan Lapar. Ketika pinggul kanan mencuat ke samping, pundak kanan tertarik ke belakang, sedang pundak kiri mencuat ke depan. Begitu bergantian. Sungguh cara berjalan yang menggetarkan. Langkah yang pelan, yang pasti, yang terkonsentrasi penuh. Namun gaya ini—sekali lagi–tulen. Gadis itu melenggang ke pintu masuk keraton ketika tiba-tiba John meloncat mengejarnya. Fafa mencoba menahan John. Saya dan Modrik serta pak Jokowi ikut berlari mengejar. Prapto, Sadra, dan Panggah terbahak. Gundono berteriak dan tertawa, ”Kejar! Kejar!” sambil mencakar cukelelenya keras-keras membangun ketegangan.
Ketika John mencapai teras keraton, kami melihat pemandangan yang mengerikan: John jadi Cleret Gombel! Menyaksikan John yang bermetamorfosis jadi sebangsa bunglon yang bisa terbang itu, gadis yang dikejar itu berteriak-teriak ketakutan lalu meloncat ke dalam ke halaman dalam keraton. Kami berloncatan meringkus John si Cleret Gombel. Saya dan pak Jokowi terlempar. Fafa menjerit karena si Cleret Gombel menggeram sambil memperlihatkan taringnya. Mas Modrik yang persis Samson itu dengan kuat meringkus John hingga roboh. John terus meronta menggeram-geram sambil unjuk taringnya yang putih berkilat. Kemudian dengan mobil hardtop mas Modrik, ramai-ramai John kami serahkan kepada pak Oei Hong Djien, guru spiritual yang khusus menangani keseimbangan pikiran dan perasaan, dari komunitas kebatinan Sumarah. Kami sepakat membantu John untuk melamar penari Macan Lapar itu yang kemudian ketahuan namanya Intan Paramaditha.
6.
Koda
Belakangan pak Jokowi melakukan rapat maraton dengan para budayawan Solo untuk membahas tentang rencananya melakukan revitalisasi gaya melenggok ala Macan Lapar ini. Kota Solo diyakini menjadi satu-satunya kota di dunia yang punya gaya berjalan putri-putrinya yang elegan itu.



Macan Lapar
Karya : Danarto
Ketika saya membaca SMS dari sahabat saya William John dari California bahwa ia akan datang ke Solo untuk mencari Putri Solo yang gaya berjalannya seperti Macan Lapar, saya terbahak. Ketika ia melanjutkan SMS-nya bahwa jika ia tidak menemukan seorang Putri Solo yang Macan Lapar itu, dalam bahasa Jawa: Macan Luwe, berarti saya menyembunyikannya. Lagi-lagi saya terbahak.
Sebaliknya saya mengancam, jika ia main-main saja dengan Putri Solo, misalnya mengajaknya kumpul kebo, saya akan melaporkannya ke Presiden Obama. Ternyata John berani bersumpah bahwa ia serius akan menikahi Putri Solo yang Macan Lapar itu dan memboyongnya ke Amerika. Anak keturunannya kelak, janji John, merupakan masyarakat baru Amerika yang akan mendatangkan berkah. Saya menyambutnya dengan mengucap amin, amin, amin. Okey, jawab saya. Insya Allah, John, saya akan membantumu untuk menemukan Putri Solo si Macan Lapar itu.
John adalah seorang arkeolog. Perkenalannya dengan dunia Timur ketika ia melancong ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memelototi candi-candi. Waktu itu ia masih berusia 23 tahun, sedang giat-giatnya menjaring ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Candi Borobudur sudah tentu, Prambanan, Mendut, Sukuh, Panataran, semuanya, sudah pindah ke benaknya. Tentu banyak lagi. Setelah John menjadi profesor di usia 25, ia sadar bahwa tak ada gunanya seorang profesor yang jomblo. Ia merasa sangat kesepian. John sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan sejumlah mahasiswinya. Tapi semuanya menolak untuk dinikahi, yang membuat John uring-uringan.
Menurut John, masa bahagia adalah ketika kuliah di Solo, ia menginap di rumah saya di bilangan Notosuman, bertetangga dengan kedai Srabi Notosuman yang termasyhur itu. Bagaimana ia tidak berbahagia, segalanya tersedia dengan gampang. Tidak seperti di Amerika yang segalanya harus ia lakukan sendiri, di Solo jika lapar bisa langsung makan, bila pengin ngopi tinggal pesan, bila pakaian kotor tinggal dilemparkan. Jika nonton pertunjukan, pergi kuliah, maupun piknik, cukup dengan naik sepeda.
Di universitasnya, UCLA, John berkenalan dengan Eko, seorang penari dari Solo yang sedang melakukan tur ke 30 universitas Amerika untuk menari. Eko menyarankan supaya John menikah dengan gadis Solo saja. Di samping gemi, nastiti, ngati-ati (irit, terperinci, berhati-hati), putri Solo gaya berjalannya persis macan lapar yang bisa membekukan waktu.
Tetapi, menurut Fafa Dyah Kusumaning Ayu, seorang DJ yang menjelma sejarawan yang mbaurekso (mengayomi) kota Solo, putri Solo yang gaya berjalannya persis macan lapar itu sudah tidak ada lagi. Menurut dia, dari satu artikel yang dibacanya, putri Solo yang demikian, yang terakhir terlihat di zaman penjajahan Jepang, yaitu di tahun 40-an. Mendengar ini, Eko dari Boston kirim SMS: Fafa, lo jangan bikin John pesimistis. Fafa pun menjawab: Eko, lo jangan mengada-ada.
Di bandara Adi Sumarmo, Solo, saya dan anak-anak, Ning, Nong, dan Nug, menjemput John yang datang lewat Bali. Di rumah, ibunya anak-anak menyiapkan nasi goreng ikan asin kesukaan John. Ia tinggal di rumah penginapan penduduk yang banyak bertebaran di kampung-kampung. Serta-merta ia diminta mengajar di ISI (Institut Seni Indonesia) untuk mata pelajaran arkeologi budaya.
Menurut Fafa, gaya berjalan Macan Lapar adalah gaya berjalan yang bertumpu pada pinggul dan pundak. Jika melangkah, sebagaimana orang berjalan, pinggul kanan berkelok muncul keluar dari garis tubuh, maka pundak kiri lunglai ke depan. Begitu bergantian, pinggul kiri mencuat, pundak kanan lunglai ke depan. Irama ini dalam paduan langkah yang pelan. Gaya berjalan begini akhirnya diadopsi oleh para art director fashion show menjadi gaya berjalan yang kita kenal sekarang oleh para peragawati di seluruh dunia di atas cat-walk. Megal-megol-nya para peragawati Eropa, Amerika, maupun Asia, menurut Fafa sangat teknis. Hal itu tampak ketika para peragawati sudah tidak di atas cat-walk lagi, mereka ternyata berjalan biasa saja, sebagaimana orang-orang biasa berjalan. Artinya, megal-megol mereka di atas cat-walk belum merupakan kekayaan budaya fashion show. Padahal macan laparnya putri Solo itu tulen, alamiah, menyatu dengan tubuh yang hidup dalam budaya tradisinya. Meski cuma berjalan di dalam rumahnya, gaya berjalan Putri Solo tetap persis macan lapar. Sehingga Putri Solo jauh lebih gandes, luwes, kewes, dan sensuous.
Pada suatu hari di siang yang panas, ketika saya dan Nug selesai jumatan di Masjid Gede, lalu bergabung dengan Ning, Nong, dan ibunya anak-anak untuk menikmati tengkleng, semacam sop tetelan daging sapi atau kambing khas Solo di gerbang Pasar Klewer, tiba-tiba menghambur John di sela kerumunan orang yang antre tengkleng, sambil berkata mantap:
”Saya sudah dapat si Macan Lapar.”
”Alhamdulillah,” sahut saya.
Lepas ashar di gerbang Keraton Susuhunan, sejumlah orang berkumpul: John, Fafa, mas Rahayu Supanggah (komponis), mas Modrik Sangidu (aktivis), Sadra (komponis), Slamet Gundono (dalang), Suprapto Suryodarmo (guru spiritual), dan pak Jokowi (wali kota Solo) sedang berharap-harap cemas sambil mencereng menatap jalanan. Kami semua diundang John untuk menerima kejutan.
Mendadak muncul seorang gadis yang berpakaian lengkap mengesankan seorang penari. Kami terperangah melihat gaya jalannya yang Macan Lapar. Ketika pinggul kanan mencuat ke samping, pundak kanan tertarik ke belakang, sedang pundak kiri mencuat ke depan. Begitu bergantian. Sungguh cara berjalan yang menggetarkan. Langkah yang pelan, yang pasti, yang terkonsentrasi penuh. Namun gaya ini—sekali lagi–tulen. Gadis itu melenggang ke pintu masuk keraton ketika tiba-tiba John meloncat mengejarnya. Fafa mencoba menahan John. Saya dan Modrik serta pak Jokowi ikut berlari mengejar. Prapto, Sadra, dan Panggah terbahak. Gundono berteriak dan tertawa, ”Kejar! Kejar!” sambil mencakar cukelelenya keras-keras membangun ketegangan.
Ketika John mencapai teras keraton, kami melihat pemandangan yang mengerikan: John jadi Cleret Gombel! Menyaksikan John yang bermetamorfosis jadi sebangsa bunglon yang bisa terbang itu, gadis yang dikejar itu berteriak-teriak ketakutan lalu meloncat ke dalam ke halaman dalam keraton. Kami berloncatan meringkus John si Cleret Gombel. Saya dan pak Jokowi terlempar. Fafa menjerit karena si Cleret Gombel menggeram sambil memperlihatkan taringnya. Mas Modrik yang persis Samson itu dengan kuat meringkus John hingga roboh. John terus meronta menggeram-geram sambil unjuk taringnya yang putih berkilat. Kemudian dengan mobil hardtop mas Modrik, ramai-ramai John kami serahkan kepada pak Oei Hong Djien, guru spiritual yang khusus menangani keseimbangan pikiran dan perasaan, dari komunitas kebatinan Sumarah. Kami sepakat membantu John untuk melamar penari Macan Lapar itu yang kemudian ketahuan namanya Intan Paramaditha.
Belakangan pak Jokowi melakukan rapat maraton dengan para budayawan Solo untuk membahas tentang rencananya melakukan revitalisasi gaya melenggok ala Macan Lapar ini. Kota Solo diyakini menjadi satu-satunya kota di dunia yang punya gaya berjalan putri-putrinya yang elegan itu.
*****
Kota Tangerang Selatan, 10 Juni 2010