Janjiku
(Salsabila Ikmas YP)
“Jangan, jangan yang itu…” tegur Zeyla.
“Terus yang mana? Paling cocok kan yang ini,” balasku
sambil menunjuk layar laptop.
“Terserahlah,” keluh Zeyla. “Yang penting kan ada
background-nya.”
“Ok lah kalau begitu,” jawabku santai. “Eh by the way, kamu pulang sekolah nanti bareng sama
aku naik sepeda kan?”
“Yoi, seperti biasa…” jawab Zeyla sambil memainkan
pensilnya.
Tet……Tetttttt….!
Bel sekolah pun berbunyi. Menandakan waktu istirahat.
“Alhamdullilah… Ayo Mia, kita ke kantin.” ajak Zeyla
sambil menarik tanganku.
“Kamu aja deh, aku lagi sibuk nih…” jawabku tidak
menghiraukannya. Zeyla pun meninggalkanku dengan muka cemberut.
Zamminesha Ramdhana itulah namaku. Aku berada di kelas
2 SMP. Teman-teman selalu memanggilku Nesha. Tetapi, beberapa juga memanggilku
Mia, termasuk sahabatku. Nayzela Rahmania, gadis belasteran Amerika-Arab inilah
sahabatku. Kemanapun aku pergi dia selalu disampingku, dan begitu juga
sebaliknya. Tetapi, akhir-akhir ini aku jarang menemaninya pergi ke kantin dan
ku harap dia dapat memakluminya.
Tanganku tak kunjung henti mengetik diatas keyboard
putih, mataku menatap tajam layar laptop dengan serius. Sampai aku terhenti
oleh panggilan seseorang yang tak asing lagi olehku, beliau menggunakan
kacamata berwarna merah dan menggerai rambut emasnya yang bergelombang itu. Ia
Bu Vanessa, guru bahasa inggris.
“Nesha, bisakah kamu membantu saya membawa buku ini ke
ruang guru?” pintanya.
“Oh ya, baik bu,” jawabku yang langsung bergeming
membawa tumpukan buku paket bahasa inggris.
“Dimana saya harus meletakkannya, Bu?” tanyaku sedikit
keberatan membawanya.
“Disini saja. Terima kasih, ya.” jawab Bu Vanessa
berterima kasih kepadaku.
“Iya bu, sama-sama” jawabku yang setelah itu berjalan keluar
ruang guru. Saat keluar dari ruang guru, aku berpapasan dengan Zeyla yang
sedang membawa sekotak jus apel dan kotak bekal yang kelihatannya sudah
disantap habis olehnya. Dengan spontan Zeyla berkata.
“Mia? Darimana kamu? Katanya lagi sibuk, kok malah
jalan-jalan sih…” tanyanya dengan ketus dan cemberut seperti anak kecil.
“Siapa juga yang jalan-jalan? Aku tadi cuma disuruh Bu
Vanessa membawa bukunya ke ruang guru. Aku itu nggak mungkin keluar kelas
kecuali kalau disuruh oleh guru.” Jawabku panjang lebar.
“Whatever…” Jawabnya sedikit lebay.
Sesampaiku dirumah, aku langsung melempar tasku dan
mengambil sepiring Lasagna buatan mama.
“Halo sayang, gimana sekolah hari ini?” tanya mamaku
yang langsung menghampiriku dan duduk disampingku.
“Hmm… Alhamdulillah aku tadi dapat nilai 89 saat
ulangan fisika.” Jawabku dengan mulut penuh Lasagna.
“Wah, Alhamdulillah. Mama juga punya kabar bagus
untukmu.” Kata mama sambil tersenyum manis.
“Apa itu?” tanyaku penasaran.
“Kita akan pindah ke Bradford!!!” jawab mama gembira
sekali.
“Hah? Ke Bradford?? Tapi kenapa? Kapan kita pindahnya?
Aku gak mau pindah… aku mau tetep disini.” Kataku sedikit tersedak karena kaget
mendengarnya.
“Kita pindah karena pekerjaan papa dipindah ke sana.
Tapi tenang aja, kita akan pindah saat liburan semester 1, kok.” Jelas mama.
“Iya sih, tapi aku nanti sekolahnya gimana? Sekolah di
sana kan mahal-mahal.” Jawabku sambil beranjak dari kursi dan mencuci piring
bekas Lasagna yang baru saja aku makan.
“Tenang saja, kamu kan pintar. Jadi, kamu gampang
masuk sekolah disana. Trust
me, hunny.” Kata mama santai sambil mengambil benang rajutan dan
melanjutkan membuat kerajinan tangan. Mamaku memang hobi membuat aneka kreasi
rajutan dan mama pun menjual hasil karyanya di situs internet. Sedangkan
papaku, beliau bekerja di pabrik es krim yang terkenal di Inggris. Kalau ada es
krim rasa baru, papa pasti membawanya pulang untuk aku santap dirumah.
Beberapa hari kemudian, berita bahwa aku akan pindah
ke Bradford pun menyebar ke seluruh kelas 8. Entah bagaimana berita itu bisa
menyebar, tetapi semua teman-temanku merasa sedih atas rencana kepindahanku.
Begitu pula dengan Zeyla, ia sangat terpukul dengan berita ini. Walau aku sudah
mengatakan bahwa kita masih bisa bercengkrama lewat SMS,telepon, facebook atau
twitter. Tetapi, ia masih tidak ingin aku pindah ke Bradford.
“Mia, kenapa kamu harus pindah ke Bradford??? Kenapa
kamu tega ninggalin aku di sini??” tanya Zeyla dengan mata berkaca-kaca dan
suara tersedu-sedu.
“Tenanglah Zey, aku pindahnya masih lama kok…” balasku
menenangkan Zeyla. “Lagian kan kita sekarang masih bisa bersama.”
“Ya sih, tapi aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku
sendiri. Coba kalau kamu pindah, aku nanti kesepian.” Jawab Zeyla mengelak.
“Aku tahu, aku pun juga berpikir seperti itu.” Jelasku
sedikit sedih karena tak tahan melihat tangisan Zeyla. “Makan di kantin bareng,
yuk. Ayo, mau gak?” Hiburku agar Zeyla tak sedih lagi.
“Ok, tumben kamu ngajak aku ke kantin. Biasanya kan
aku yang ngajak kamu.” Ejeknya sedikit tersenyum.
“Ayo jadi nggak?” balasku sambil menarik tangan
Zeyla.
“Jadilah, masa aku tolak sih,” jawabnya sambil
beranjak dari kursinya.
Disana aku memilih Spaghetti dan segelas jus avokad
kesukaanku. Sedangkan Zeyla, memilih MacCheese dan segelas milkshake stroberi.
Lalu, kita pergi ke bangku di pojok kantin sambil membawa pesanan kami. Kamipun
menyantap makanan yang sudah kami pesan dengan lahapnya. Tetapi, Zeyla terlihat
masih sedih tentang hal itu. Ide pun keluar dari benakku.
“Hei, bagaimana kalau nanti kita ke Karnaval dekat
taman kota. Untuk mengingat masa-masa indah kita, nanti aku jemput naik sepeda,
deh!” Ajakku mencoba untuk menghibur Zeyla.
“Wah ide bagus, tuh. OK aku terima tawaranmu.”
Jawabnya tersenyum senang. Aku pun membalas senyumannya itu.
Lalu kami melanjutkan makan siang kami. Tetapi, aku
merasa ada seseorang yang memperhatikanku dari tadi. Aku pun meliriknya,
ternyata dialah yang menatapku dari tadi. Ia yang berambut hitam, tinggi, dan
tersenyum padaku, ialah Dustin Frocer. Kami pernah akrab saat kelas 7. Tetapi,
sekarang kami tidak akrab lagi. Aku pun memalingkan mukaku ke arah lain. Dan
mengajak Zeyla untuk segera ke kelas.
“Tapi, kita kan belum selesai makan.” Jelasnya sambil
menikmati milkshakenya.
“Sudahlah, ayo kita ke kelas…” pintaku sambil menarik
Zeyla.
Teet…Teet…Teet…!
Bel sekolah pun berbunyi, aku pun berjalan menuju
parkiran sepeda. Zeyla tidak pulang bersamaku karena ia harus ekskul PMR. Dan
tak disangka olehku, jika Dustin mengikuti diriku dari tadi. Aku pun
mempercepat laju kakiku. Saat sampai di parkiran, aku pun menaruh tasku di
keranjang secepat mungkin. Tetapi sudah terlambat, ia pun langsung mendekatiku,
wajahnya memerah malu. Walaupun begitu, aku tak menghiraukannya.
“Hei Nesha,” sapanya singkat. Aku tak menjawab, aku
tetap melanjutkan membuka kunci sepedaku.
“Aku ingin menanyakan sesuatu yang sudah lama aku
simpan.” Jelasnya sedikit tersendat-sendat. Masih tak menghiraukannya, aku pun
mulai memegang stang sepedaku dan akan meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba, ia
memegang tangan kananku.
“Aku dengar kamu akan pindah ke Bradford. Jadi, aku
ingin mengatakan bahwa Aku sayang sama kamu… senyummu yang manis telah membuka
hatiku, dan rambut hitammu yang berkilau telah membutaku kebingungan tak tahu
harus apa,” jelasnya. “Dan aku tahu kalau kamu pun juga punya perasaan yang
sama selama ini.”
Aku pun menarik tanganku. Dan spontan berkata,
“Oh.. Uhm.. tapi, aku minta maaf rasa itu sudah sangat
lama kurasakan. Jadi, sekarang sudah hilang…,” Jelasku singkat sambil
meneteskan air mata. “I’m Sorry…” Aku pun mulai menghapus air mata di
pipiku dan mengayuh sepedaku dengan cepat menjauhi dirinya yang melihat
bayanganku menghilang sekejap mata.
Tepat pukul 3 sore, aku sudah berada di depan rumah
Zeyla untuk menjemputnya ke karnaval bersama. Zeyla membonceng di belakangku.
Ia tidak membawa sepeda sendiri, karena sepedanya rusak. Kami pun berbincang-bincang
di perjalanan. Namun, hal yang tak pernah terpikirkan olehku terjadi.
‘Tin….Tiiinnnn!!!’ sebuah motor vespa melaju
dengan kecepatan tinggi melanggar lampu merah. Tak disengaja, sepedaku
tertabrak oleh motor itu saat kami akan menyebrang. Aku terlempar dari sepedaku
agak jauh. Tetapi, aku beruntung karena tidak cedera. Si pengendara vespa pun
langsung pergi kabur dari hadapan kami. Tanpa pikir panjang, aku pun terpikir
oleh keadaan Zeyla. Aku pun berusaha untuk berdiri dan mendekati Zeyla. Aku
kaget setengah mati melihat tubuh Zeyla terbaring lemah berbaluran darah merah
yang keluar dari tangannya. Dengan kaki sedikit pincang, aku mencoba berlari
secepat mungkin mendekati Zeyla.
“Zey! Zey! Kamu gak apa-apa, kan?” tanyaku yang
langsung mencoba membangunkannya.
“Mia, maafkan aku kalau aku punya salah besar. Tolong
sampaikan ke orang tuaku kalau aku sayang pada mereka.” Jawabnya dengan suara
lemah sekali.
“Ga, kamu akan baik-baik aja Zey. Jangan tinggalin
aku, siapa yang bisa menemaniku setiap hari… siapa kalau bukan dirimu. Aku
kesepian, Zey!” jelasku yang tak dapat membendung air mataku lagi.
“Allah akan menemanimu…” jawabnya bergemetar memegang
tanganku, matanya pun tertutup untuk selamanya dan perlahan ia pun menghela
nafas terakhirnya. Air mataku mengalir deras, aku kebingungan tak tahu harus
melakukan apa. Ku lihat ada liontin di tangannya yang bersimbahkan darah
bertuliskan ‘BFF’. Aku pun mengambilnya dan menggunakannya. Lalu beberapa
penduduk sekitar menolongku atas insiden tersebut.
Waktu pun berjalan begitu cepat, semester 1 pun sudah
berlalu. Aku masih terpaku atas kejadian itu. Tetapi, aku pasrah dengan
semuanya dan mencoba untuk melakukan yang terbaik.
Saat aku akan memasuki bandara, tiba-tiba teriakan
seorang lelaki yang pernah kukenal memberhentikan langkahku. Aku pun melihat
sumber suara itu, dan ternyata itu Dustin.
“Nesha, aku ingin memberimu sesuatu untuk mengingat
diriku.” Ia pun memasangkan gelang dengan hiasan gelombang ombak berwarna
biru muda di tangan kiriku. “Aku memang terlambat untuk menjadi milikmu, tetapi
tak ada kata terlambat untuk menjadi sahabatmu, bukan?” tanyanya lembut. Tanpa
basa-basi lagi, aku memeluknya untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
“Ya, kamu benar,” jawabku singkat.
“Apakah kamu akan mengunjungi London lagi?” tanyanya
dengan senyum manisnya.
“Ya! Aku pasti, aku janji!” kataku tegas.
Dustin yang berada di depanku pun menghapus air
mata di pipiku dan mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Memang hari ini hari
terberat untuk meninggalkan London, tapi aku berjanji bahwa aku akan
mengunjungi London lagi… Aku janji.
0 komentar:
Posting Komentar
Jika ada yang kurang jelas atau terjadi kesalahan dalam artikel di atas, tolong beri tahu kami dengan berkomentar. Mohon berkomentar dengan santun dan mengedepankan akhlak mulia. Terima Kasih.