Cerpen tentang Ayah



Maafkan Aku Ayah .
Oleh: Audita fathana


Aku terdiam menerawang, ingin berlari, lari ke tempat yang jauh .. menjauh dari kenyataan pahit, kenyataan yang memaksaku untuk menelan segala bentuk rasa perih. Aku terduduk disini, disudut ruangan yang hanya ada beberapa orang. Segala pikiranku melayang jauh entah kemana, hatiku sakit mengiris melihat sebujur mayat yang kaku didepan mataku. Jika bukan karena Dia, orang paling otoriter, terlalu keras kepala, egois dan suka bertingkah semaunya mungkin ini semua takkan terjadi, mayat kaku itu mayat yang dulunya saat matanya masih terbuka dan nafasnya masih berhembus yang telah melahirkan dan membesarkan aku dengan segenap kasih sayangnya, menemaniku  saat aku merasa kesepian, mengajarkanku banyak hal dengan senyum dan tawanya. Tapi kini semua seakan sirna, rencanaku dimasa depan, senyum dan tawaku seakan dirobek dihancurkan hingga tak berbekas oleh ayahku orang paling egois yang pernah kukenal. Jika bukan karena  dia yang suka meninggalkan Ibu, Ibu tak mungkin jatuh sakit dan meninggalkanku sendirian didunia yang kejam ini, jika bukan karena alasan konyolnya itu  Ibuku takkan merasa kesepian yang begitu hebat. Dan bodohnya aku tak pernah tau alasan konyol yang membuat ayah meninggalkan Ibu.
Kejadian setahun lalu sebelum hari ini, ayahku meninggalkanku dengan alasan pergi entah kemana aku tak tau dia berjanji akan kembali, namun yang kutahu sejak jam itu, menit itu, dan detik itu ayahku tak kembali lagi. Dan kini dia membawa penyesalan, tangisan yang kuanggap air mata buaya, ya aku tak suka caranya pergi tanpa jejak dan kini datang hanya dengan sebuah permintaan maaf ! Aku saja mungkin sudah tak ingin menyebut dia sebagai “Ayah” lagi, yang kuingat bagaimana perihnya  perjuangan ibuku untuk tetap bertahan hidup bersamaku, dimulai pagi petang menyusuri hutan mencari kayu bakar, dlanjutkan mencari apa saja yang ada dihutan yang bisa kami gunakan untuk mengganjal perut, andai saja ia yang dulu kusebut sebagai “Ayah” tahu, ya begitu seterusnya cara kita bertahan  hingga empat bulan lalu tanpa kutahu ternyata ibuku sakit, kenyataannya dia merindukan ayahku, kenyataannya bahwa dia telah berputus asa, dia tak tega melihatku begitu sengsara hidup bersamanya, saat terakhir sebelum dia meninggalkanku dia sempat berpesan “Carilah ayahmu nak, hiduplah bersamanya. Maafkan ibumu yang selalu membuat hidupmu repot, membuat kamu susah” hanya sepatah kalimat itu dan kini ibuku telah menutup mata untuk selama-lamanya, tanpa sempat aku mengucap terima kasih, tanpa sempat aku berkata maaf, dan tanpa sempat ku cari “Ayah” yang selama ini membuat Ibuku susah. Namun kini dia datang dengan sebuah permintaan maaf, membuatku bertanya untuk apa ? apa saja yang ia lakukan selama ini? Kemana dia saat aku benar-benar membutuhkannya? Semua pikiran itu berkecamuk tanpa bisa aku utarakan, lidahku kelu membisu, aku hanya bisa menatap nya dengan tatapan nanar, kosong, menahan perih tanpa bisa kubagi rasanya.
***
Hari berlalu dengan begitu saja, sudah tiga bulan sejak kematian Ibuku. Aku masih saja suka berdiam diri, duduk diteras depan menanti senja berharap ada suara nyaring yang berkata “ayo sudah malam, masuklah nanti masuk angin”. Aku begitu merindukannya, merindukan tawanya yang khas, cara dia memberikan sebuah pelukan, dan cara dia memberikanku nasehat. Dan kini semua seperti kenangan, kini aku hanya hidup berdua dengan seseorang yang sudah kuanggap asing sejak detik ia meninggalkanku, aku tak pernah menganggapnya, walaupun dia begitu ingin memperhatikanku, memberikan juga kasih sayangnya yang sempat hilang, tapi hatiku terlanjur sakit aku begitu membencinya sampai aku tak bisa lagi mengungkapkannya, pembohong, penipu segala ucapan yang tak patut untuk kuutarakan kepada ayah sebagai seorang anak aku katakan tepat ditelinganya, masih kuingat setelah seminggu sejak kematian Ibu dia mencoba berbicara padaku “Maafkan Ayah le, ayah tidak bermaksud untuk meninggalkan .. ka ..“ “Halah sudahlah, simpan saja semua omong kosongmu itu kesalahan mana dulu yang harus kumaafkan? Persetan dengan maaf, segalanya telah hancur, dan terimakasih untuk Anda yang telah menghancurkan segalanya, aku tak pernah berpikir jika Anda bisa sampai sejauh ini! Maafkan aku sebagai seorang anak yang telah berbicara begitu hina didepan ayahnya” aku berlari meninggalkan ayahku dengan perasaan terpuruk, sedih, kecewa, marah bahkan dalam situasi seperti itu aku masih sempat memikirkan bagaimana perasaan ayah atas ucapanku, bagaimanapun aku tetaplah anaknya, naluri kasih sayangku masi begitu kuat untuknya, walaupun kecewa yang aku rasakan sudah begitu hebat.
Dan sejak kejadian itu aku tak pernah bertegur sapa dengannya, jangankan bertegur sapa melihat saat kita berhadapan pun tidak. Kita hidup satu atap tapi layaknya orang asing, perasaan kecewa itu masih saja terus membayangi, tak pernah membiarkanku hidup tenang tanpa dendam dan keikhlasan, jika kulihat wajahnya yang telah menua, aku masih teringat ibuku, teringat bagaimana kata terakhir yang ibu ucapkan padaku, itu yang membuatku masih sangat kecewa, merasa begitu terpuruk, dan perasaan sedih itu kembali, aku tak pernah memperhatikannya, apa yang dia makan, bagaimana jika dia sakit, dan dimana dia tidurpun aku tak tahu mungkin lebih tepatnya seperti tak ingin tahu. Pernah satu waktu aku tahu, aku melihatnya duduk dibawah pohon depan rumah sambill menyedot rokok kesukaannya, entah apa yang sedang ia pikirkan, kulihat sekilas setelah itu kubiarkan dan kembali aku menjalani aktifitasku seperti biasa.
Hingga suatu pagi, saat aku merasa perasaanku menjadi lebih baik, aku keluar dari kamarku dan kudapati semakin hari rumah ini menjadi semakin kotor, segalanya berantakan, debu-debu berterbangan dimana-mana, segalanya jadi tidak terurus setelah kepergian Ibuku. Karena perasaanku saat itu sedikit lebih baik akhirnya akupun berinisiatif untuk membereskannya, ku sapu lantai, ku bersihkan seluruh sudutnya, ku tata dengan rapi,  hingga saat aku membereskan buku yang bertebaran dimeja aku temukan beberapa lembar kertas tulisan tangan ayahku tulisan orang tua yang sangat khas.
Lembar pertama tertulis tanggal duaminggu dari hari ini.
Nak, maafkan ayah yang begitu bodohnya meninggalkan kamu dan Ibumu. Maafkan ayah yang pergi tanpa meninggalkan kabar untukmu, maafkan ayah yang meniggalkanmu dengan alasan palsu, betapa menyesalnya ayah,  sampai membuat anak kesayangan ayah begitu marah dan membenci ayah. Maafkan ayah nak “.
Lembar kedua tertulis seminggu setelah lembar pertama dibuat suratnya juga begitu panjang,
            “Nak, sampai kapan kamu akan menyiksa ayah ? sungguh ayah begitu menyanyangimu, ayah tak pernah bermaksud untuk meninggalkanmu dan ibumu, ayah sungguh sangat menyayangimu. Dengan cara apa ayah harus menunjukkannya nak? Perlu kamu tahu, sejujurnya Ayah meninggalkanmu waktu itu, sebenarnya ayah kekota mengadu nasib agar bisa membuat hidup kita lebih baik namun ayah berbohong ayah memasukkan alasan yang begitu tidak masuk akal ayah bilang hanya pergi sebentar maafkan ayah nak. Sebenarnya saat 5 bulan setelah ayah meninggalkanmu ayah mengira penghasilan ayah menjadi lebih baik dan ayah ingin mengajak kau dan ibumu tinggal dikota, apalah daya Tuhan berkata lain, Tuhan kembali memerosotkan penghasilan ayah hingga hampir 5 bulan ayah mencoba mengembalikan penghasilan ayah namun sama aja, ayah hampir putus asa maka dari itu sebenarnya ayah belum siap untuk kembali tapi bagaimana lagi kalianlah tempat terbaik untuk ayah pulang, sampai akhirnya ayah pulang dengan sejuta pengharapan semoga kamu dan ibumu memaafkan ayah dan tidak membenci ayah. Tapi ? sungguh ayah tak pernah mengira segalanya akan jadi seperti ini. Maafkan ayah nak.”
Dan kini tiba pada lembarketiga yang ditulis pada hari ini
“Nak, apalah arti hidup ini jika kamu tak bisa memaafkan ayah. Mungkin jika segalanya berakhir kamu akan memaafkan ayah nak. Iya kan nak? Berjanjilah pada ayah. Maafkan ayah yang hanya membuat hidupmu susah nak, maafkan ayah yang membuat hidupmu repot dan merasa terbebani. Maafkan ayah nak”
Begitu akhir dari lembar ketiga surat ayahku, aku hanya bisa terbelalak kaget, hatiku luluh bagaimanapun aku tak ingin kehilangan orang yang aku sayang untuk yang kedua kalinya. Kalimat-kalimat ayah mengingatkanku bagaimana ibu dulu mengucapkan kata terakhirnya, aku hanya tak ingin menyesal seumur hidupku. Tanpa pikir panjang aku berlari mencari ayah, aku menyusuri hutan, bertanya kepada semua penduduk yang aku temui hingga satu orang penduduk menunjukkan bahwa ayahku sedang berdiri diatas jurang yang ada dibukit, hatiku serasa terhenti aku takut terlambat “celaka” akhirnya aku berlari, tak kuhiraukan berbagai kerikil yang menghujam kakiku, pikiranku hanya terfokus untuk ayah, sungguh aku sangat menyayangi ayah. Sembari berlari tak terasa air mataku mengalir. Dan disana kutemui laki-laki yang mulai menua, rambut putihnya sudah begitu terlihat dan tanpa sadar aku berucap “Ayah…..” menimbulkan suara gema disekitarnya. Ayah menoleh dan berkata “Maafkan ayah nak .. “ “Berhentilah bersikap bodoh ayah, sudah cukup waktu satu tahun ayah meninggalkanku kini aku tidak ingin ayah meninggalkanku lagi untuk selamanya. Aku sudah memaafkan ayah, aku sungguh menyayangi ayah. Jangan pernah lakukan hal bodoh yang membuat anakmu ini menyesalinya hingga seumur hidup yah. Berhentilah, ayo kita pulang, ayo kita mulai segalanya dari awal kembalikan kasih sayang ayah yang satu tahun hilang itu yah … jangan pergi meninggalkanku” begitulah kata terakhir kuakhiri dengan aliran airmata yang menetes deras, deru nafas dan degup jantung yang berdetak cepat, perih hati sudah kuungkapkan mungkin memang ini jawaban untuk segala pertanyaanku, ini adalah jawaban untuk dendam yang selama ini aku simpan. Aku tak pernah benar-benar membenci ayah, aku menyayangi nya lebih dari kata yag sanggup aku ucapkan. Namun diluar dugaanku, ayahku malah mengangkat alis dan berkata “Apa maksudmu? Apa kau kira aku akan mengakhiri hidupku dengan terjun dari atas jurang ini? Tidaklah anakku, ayahku sudah begitu berdosa meninggalkanmu, ayah tidak ingin mengulangi untuk yang kedua kalinya  berhentilah menangis, kemari peluk ayah.” Lalu ayahku tertawa geli sambill membuka kedua tangannya, aku hanya bisa melongo dan seketika wajahku berubah masam mendengar jawaban ayah aku malu tapi sebenarnya aku juga lega ayah tidak jadi bunuh diri. Dan berakhirlah drama ayah dan anak itu dengan pelukan, mereka berpelukan hingga senja datang dan mengantar mereka pada kegelapan.  Mereka sadar, jika satu sama lain merupakan kekuatan yang selama ini mereka cari, jika mereka satu maka segalanya akan terasa baik-baik saja. “lihatlah bulan bersinar begitu terang, lihat ibumu mungkin sedang tersenyum pada kita”.




0 komentar:

Posting Komentar

Jika ada yang kurang jelas atau terjadi kesalahan dalam artikel di atas, tolong beri tahu kami dengan berkomentar. Mohon berkomentar dengan santun dan mengedepankan akhlak mulia. Terima Kasih.